Senandung Sunyi di Ujung Jembatan
Arini, seorang arsitek muda yang sukses, hidup dalam jeratan kecemasan tak beralasan yang ia sembunyikan rapat. Bagi dunia, ia adalah kesempurnaan; bagi dirinya, ia adalah labirin pikiran yang tak berujung. Ketika proyek besar yang menentukan kariernya berhadapan dengan tenggat waktu, kecemasannya meledak menjadi serangkaian krisis yang mengancam untuk meruntuhkan seluruh kehidupannya yang tertata rapi, memaksanya untuk menghadapi musuh tak terlihat yang selama ini ia elakkan.
Waktu menunjukkan pukul 03.17 dini hari. Kota Jakarta terlelap, diselimuti keheningan yang tebal, namun di lantai 25 sebuah apartemen mewah, Arini masih terjaga. Bukan karena tugas yang menumpuk, melainkan karena napasnya yang terasa pendek, seolah ada balok es yang menekan dadanya. Ia berdiri di depan jendela, memandang kerlip lampu jalanan yang menyerupai saraf-saraf elektrik yang tak pernah tidur.
Arini Paramita, usia 28 tahun, adalah nama yang dihormati di firma arsitektur Nusantara Design Group. Karyanya inovatif, presisi, dan selalu selesai tepat waktu. Ia memiliki segalanya: karier cemerlang, apartemen minimalis yang artistik, dan mobil Eropa terbaru. Namun, semua itu hanyalah topeng sempurna yang ia kenakan untuk menutupi kekacauan di dalam dirinya.
Sejak kecil, Arini adalah anak yang ‘hati-hati’. Bukan hanya hati-hati, sebenarnya. Ia adalah seseorang yang selalu memikirkan skenario terburuk dari setiap kemungkinan, dari hal sekecil apa pun. Sebuah telepon tak terjawab bisa berarti kecelakaan. Keterlambatan balasan surel dari klien bisa berarti kegagalan proyek senilai miliaran rupiah. Kecemasan itu seperti senandung sunyi, selalu ada di latar belakang pikirannya, pelan tapi terus-menerus. Ia berusaha mengabaikannya, menimpanya dengan kesibukan dan kesempurnaan. Ia menyebutnya 'persiapan', bukan 'kecemasan'.
Di atas meja kerjanya, terhampar blueprint dari proyek terbesarnya: desain “Jembatan Harmoni”, sebuah ikon baru yang akan menghubungkan dua distrik penting di ibu kota. Proyek ini adalah puncak kariernya, dan tenggat waktu pengerjaan proposal final tinggal dua minggu lagi.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan detak jantungnya yang berpacu liar. “Hanya kecapekan, Rini,” bisiknya pada bayangannya sendiri, sebuah kebohongan yang telah ia ulangi ribuan kali.
Kecemasan Arini mulai merangkak keluar dari batas kendalinya tepat setelah rapat evaluasi proyek Jembatan Harmoni. Semua berjalan lancar. Presentasinya dipuji, klien terkesan. Namun, saat Arini hendak meninggalkan ruang rapat, Pak Heru, atasannya yang kharismatik, berkata sambil tersenyum, “Proposalnya sudah hebat, Rini. Tinggal satu hal. Pastikan tidak ada satu pun celah yang bisa mereka jadikan alasan untuk menolak.”
Satu kalimat itu. Hanya tujuh kata.
Di telinga Arini, tujuh kata itu berubah menjadi raungan. Tidak ada satu pun celah.
Sejak saat itu, kecemasan yang semula hanya senandung sunyi, kini berubah menjadi orkestra penuh. Ia mulai memeriksa ulang setiap perhitungan Jembatan Harmoni. Bukan sekali, tetapi berulang kali. Ia membandingkan data yang sama di tiga spreadsheet berbeda. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk memastikan bahwa desain mur dan baut, yang sudah distandarisasi dan diverifikasi, benar-benar kuat dan tidak akan menjadi penyebab tragedi.
Tidur adalah kemewahan yang ia tolak. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, pikirannya sibuk menyusun daftar hal-hal buruk yang bisa terjadi: 1. Jembatan runtuh saat peresmian, 2. Klien menuntut ganti rugi, 3. Kariernya hancur, 4. Ia menjadi bahan berita nasional, 5. Ia kehilangan segalanya, termasuk apartemennya.
Suatu sore, Nisa, asistennya yang setia, masuk ke ruangan Arini dan menemukan Arini sedang berdiri, membeku, memegang pulpen dengan buku catatan yang penuh coretan angka-angka acak.
“Mbak Rini, ini sandwich tuna kesukaan Mbak. Mbak belum makan sejak pagi,” kata Nisa lembut.
Arini tersentak, tatapannya kosong. “Tuna?” ulangnya. “Nisa, kamu yakin tunanya segar? Aku baru baca berita, ada kasus keracunan makanan laut di pasar. Coba kamu cek lagi labelnya. Tanggal kedaluwarsanya. Dan tolong, pastikan restorannya punya sertifikat kebersihan.”
Nisa terdiam, menatap bingung. Restoran tempat ia membeli sandwich itu adalah restoran bintang lima yang sudah menjadi langganan mereka bertahun-tahun.
“Mbak, saya jamin ini aman,” Nisa meyakinkan.
“Tidak! Kamu tidak bisa menjaminnya, Nisa!” Suara Arini meninggi, dipenuhi ketakutan yang tidak proporsional. Ia merasa panik. Bukan karena tuna, tetapi karena ketidakpastian dari tuna itu. Ketidakpastian adalah bahan bakar dari kecemasannya. “Aku harus memastikan! Hidup itu penuh risiko, Nisa! Kalau aku tidak hati-hati, semuanya akan hancur!”
Nisa mundur selangkah. “Baik, Mbak. Saya akan cek ulang. Maaf.”
Setelah Nisa keluar, Arini jatuh terduduk di kursinya, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia tahu ia bertingkah tidak masuk akal, tetapi ia tidak bisa menghentikannya. Rasa takut itu begitu nyata, begitu mendesak, seolah-olah bencana sedang menunggu di ambang pintu.
Ia mulai menghindari interaksi sosial. Makan siang bersama rekan kerja dibatalkan. Undangan ulang tahun sahabatnya ditolak dengan alasan sakit. Ia merasa lelah menghadapi pertanyaan-pertanyaan, "Kenapa kamu terlihat lelah?" atau "Kamu baik-baik saja?" Ia tidak baik-baik saja. Ia merasa seperti kawat tegang yang siap putus kapan saja.
Krisis memuncak empat hari sebelum presentasi final. Arini seharusnya beristirahat total. Proyek Jembatan Harmoni sudah melalui empat tahap verifikasi teknis yang ketat dan dinyatakan sempurna oleh tim internal dan eksternal. Namun, Arini tidak percaya.
Malam itu, jam 01.00, ia kembali memeriksa simulasi beban jembatan di komputernya. Tiba-tiba, monitornya berkedip dan mati. Listrik padam di seluruh apartemen.
Kegelapan total. Senyap.
Detik itu, semua ketakutan yang selama ini ia tekan meledak. Ia tidak takut gelap, ia takut pada kemungkinan di balik gelap.
Apa ini? Kebakaran? Gempa bumi? Apakah ini pertanda kegagalan jembatan?
Jantungnya terasa seperti dipukul palu godam. Ia terengah-engah mencari udara, tetapi paru-parunya menolak bekerja. Sensasi sesak napas, pusing, dan mati rasa di ujung jarinya menyerangnya dengan brutal. Ia jatuh berlutut, mencoba meraih ponselnya untuk menghubungi Nisa, atau Pak Heru, atau siapa pun.
“Aku tidak bisa bernapas. Aku akan mati. Jembatan itu pasti salah. Aku pasti salah hitung. Mereka akan menyalahkanku!” Air mata, keringat, dan ingus bercampur menjadi satu. Tubuhnya bergetar tak terkendali.
Ia mendengar suara bisikan di kepalanya, bukan halusinasi dalam arti psikotik, melainkan suara internal yang diperkuat oleh panik. Kamu tidak pernah cukup baik. Kamu akan menghancurkan segalanya. Kamu adalah kegagalan.
Ia merangkak ke dapur, membuka laci, dan mengambil sebilah pisau buah. Bukan untuk menyakiti dirinya, melainkan sebagai bentuk perlindungan yang irasional—melindungi dirinya dari ancaman yang tidak ada. Ia meringkuk di sudut, memeluk lututnya, pisau teracung ke depan.
Satu jam kemudian, listrik kembali menyala. Cahaya lampu dapur yang terang membuat Arini terkejut. Ia melihat dirinya di pantulan stainless steel kulkas: seorang wanita dewasa, sukses, yang meringkuk ketakutan dengan pisau buah di tangan.
Di saat itulah, sebuah kesadaran menyengatnya. Ini bukan hanya kecapekan. Ini bukan hanya stres kerja. Ini adalah penyakit. Ini adalah musuh yang tak terlihat, yang telah tumbuh besar di dalam dirinya, perlahan-lahan merenggut akal sehat dan kedamaiannya. Ia telah mencapai titik terendah, puncak dari kekacauan emosionalnya—$Panic\ Attack$, yang dipicu oleh $Generalized\ Anxiety\ Disorder$ (GAD) yang akut.
Ia menjatuhkan pisau itu. Suara klang pisau beradu dengan lantai marmer terasa memekakkan telinga.
“Aku... aku butuh bantuan,” lirihnya, sebuah pengakuan yang lebih sulit diucapkan daripada merancang sebuah jembatan raksasa.
Pagi harinya, Arini tidak pergi ke kantor. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia membatalkan semua janji tanpa alasan bisnis yang kuat. Ia menghubungi Nisa, bukan untuk memarahinya, melainkan untuk meminta bantuan, sebuah keputusan yang sangat sulit bagi seorang perfeksionis.
“Nisa, tolong carikan aku kontak Psikiater terbaik. Aku... aku tidak enak badan. Aku perlu menemui seseorang segera.”
Nisa, yang telah mencemaskan Arini, langsung bertindak. Dua jam kemudian, Arini sudah duduk di ruangan yang tenang dan hangat, berhadapan dengan Dr. Satya, seorang psikiater dengan mata yang ramah dan meneduhkan.
Arini menceritakan semuanya: senandung sunyi yang berubah menjadi raungan, daftar skenario bencana yang tak masuk akal, ketidakmampuan untuk melepaskan kendali, hingga serangan panik semalam. Ia menangis, mencurahkan beban bertahun-tahun yang ia pikir bisa ia tanggung sendirian.
Dr. Satya mendengarkan dengan saksama. Setelah Arini selesai, ia mengangguk.
“Arini, apa yang Anda alami sangat nyata, tetapi juga sangat dapat dikelola. Anda menderita $Generalized\ Anxiety\ Disorder$ atau GAD,” jelas Dr. Satya dengan tenang. “Ini bukan tanda kegilaan atau kelemahan karakter. Ini adalah ketidakseimbangan kimiawi dan pola pikir yang terlatih untuk selalu mengantisipasi bahaya, bahkan saat bahaya itu tidak ada.”
Dr. Satya menjelaskan rencana penanganannya: kombinasi terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) untuk mengubah pola pikir negatif dan mungkin, pada awalnya, obat antidepresan dosis rendah untuk menstabilkan kimia otak.
“Tujuannya bukan menghilangkan kecemasan sepenuhnya, Arini,” kata Dr. Satya. “Kecemasan adalah fungsi normal manusia. Tujuannya adalah meredam volume senandung sunyi itu, agar ia tidak lagi menjadi orkestra yang mengganggu hidup Anda. Anda akan belajar untuk hidup dengan ketidakpastian, bukan melawan ketidakpastian.”
Proses penyembuhan tidak instan. Dua hari kemudian, Arini berhasil melakukan presentasi Jembatan Harmoni. Ia tidak sempurna. Di tengah presentasi, ia sempat salah menyebutkan angka. Kecemasan kecil itu muncul, tetapi kali ini, ia tidak membiarkannya merobohkan dirinya. Ia menarik napas, tersenyum, mengoreksi, dan melanjutkan. Hasilnya? Klien memberinya tepuk tangan berdiri. Proyek diterima.
Ia kembali ke kantornya, melihat blueprint jembatan. Jembatan itu menghubungkan dua daratan. Ia menyadari, dirinya pun harus membangun jembatan—jembatan antara pikiran rasionalnya dan emosi batinnya.
Enam bulan berlalu. Arini masih Arini yang cerdas dan bersemangat, tetapi kini ia juga adalah Arini yang berdamai. Ia masih kadang merasa cemas, tetapi sekarang ia memiliki ‘alat’ untuk meresponsnya: teknik pernapasan, jurnal harian, dan janji rutin dengan Dr. Satya.
Ia tidak lagi memeriksa surelnya di tengah malam. Ia belajar menerima ketidaksempurnaan. Jika sandwich tuna membuatnya cemas, ia akan tersenyum kecil pada dirinya sendiri dan berkata, “Halo, GAD. Terima kasih atas kekhawatiranmu, tetapi aku baik-baik saja.”
Suatu sore, ia berdiri di sebuah jembatan kecil di taman kota, memandangi air sungai yang mengalir tenang. Ia berpikir tentang Jembatan Harmoni yang sedang dibangun. Jembatan itu akan kokoh, tetapi ia tahu bahwa kekokohan yang sesungguhnya telah ia bangun di dalam dirinya: menerima bahwa hidup itu tak pasti, dan bahwa menerima ketidakpastian adalah bentuk keberanian tertinggi.
Arini menarik napas. Senandung sunyi itu masih ada, tetapi sekarang ia terdengar seperti melodi yang jauh dan lembut, tidak lagi menguasai orkestra kehidupannya. Ia tersenyum, melangkah maju. Jembatan terpenting dalam hidupnya, Jembatan Harmoni Batin, telah selesai dibangun.
0 Komentar