Cerita Pendek: Bayangan di Jendela Kaca
Bayangan di Jendela Kaca
Udara pagi di Desa Sukamaju selalu membawa aroma tanah basah dan bunga sedap malam yang layu. Hujan semalam telah menyisakan lapisan embun tebal yang menutupi daun-daun jendela kaca rumah tua milik keluarga Pranata. Rumah itu, dengan arsitektur kolonial Belanda yang megah namun suram, berdiri menyendiri di ujung jalan, terisolasi oleh pagar batu tinggi yang ditumbuhi lumut.
Di dalam, di ruang kerja yang dipenuhi tumpukan manuskrip kuno dan buku-buku berdebu, duduklah Arya Pranata. Usianya baru menginjak tiga puluh tahun, tetapi kerutan di dahinya dan mata yang selalu tampak lelah memberinya penampilan yang jauh lebih tua. Arya adalah seorang penulis novel misteri yang sedang mengalami kebuntuan kreatif yang parah. Sudah enam bulan sejak ia pindah kembali ke rumah masa kecilnya ini—rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan manis sekaligus trauma—namun satu baris pun ia belum mampu menuliskannya dengan serius.
“Kopi Anda, Tuan,” suara parau Bi Surti, asisten rumah tangga yang telah mengabdi pada keluarga Pranata selama lebih dari empat puluh tahun, memecah kesunyian.
Arya mengangguk tanpa menoleh. “Terima kasih, Bi.”
Bi Surti meletakkan cangkir porselen itu di meja dan berlama-lama di ambang pintu. “Tuan Arya, Bi mohon, jangan terlalu larut dalam kesendirian. Setidaknya keluarlah, hirup udara luar.”
“Aku baik-baik saja, Bi. Aku hanya… butuh inspirasi,” jawab Arya, memutar-mutar pena di jarinya. Matanya terpaku pada sehelai kertas kosong yang sudah seminggu tertempel di papan tulisnya.
Bi Surti mendesah berat. “Sejak Nona Laras… sejak Nona Laras menghilang sepuluh tahun lalu, rumah ini seolah kehilangan jiwanya.”
Arya mendadak tegang. Nama ‘Laras’ adalah belati dingin yang selalu menusuk ulu hatinya. Laras, adik perempuannya, menghilang tanpa jejak tepat pada malam ulang tahunnya yang ketujuh belas. Polisi menutup kasus itu sebagai ‘melarikan diri tanpa paksaan’, tetapi Arya selalu yakin ada sesuatu yang jauh lebih gelap.
“Bi, tolong jangan sebut nama itu lagi,” ujar Arya dingin.
“Maaf, Tuan.” Bi Surti bergegas keluar, meninggalkan Arya dengan bayangan masa lalunya.
Arya berdiri, berjalan ke jendela besar yang menghadap ke halaman belakang. Halaman itu dulunya adalah taman bermain Laras. Di sana, tepat di bawah pohon beringin tua yang menjulang tinggi, Laras dan dirinya sering bermain petak umpet. Halaman itu kini ditumbuhi semak-semak liar. Namun, matanya menangkap sesuatu yang aneh.
Di tengah lumpur basah bekas hujan, di dekat pagar batu yang sudah lapuk, ada jejak kaki. Jejak kaki yang kecil, seolah-olah milik seorang perempuan. Jantung Arya berdebar kencang. Ia tahu, Bi Surti selalu memakai sandal jepit, dan jejak ini jelas berupa sepatu bot.
Arya mengenakan sweater tebalnya dan segera keluar. Halaman belakang terasa dingin dan mencekam. Ia mengikuti jejak kaki itu. Jejak itu berhenti tepat di sebelah pagar yang sedikit rusak, seolah-olah seseorang melompati atau merangkak melalui celah tersebut.
“Siapa yang masuk ke sini?” gumamnya. Rumah itu sangat terpencil, dan tidak ada tetangga yang berani mendekat karena rumor angker yang melekat.
Arya kembali ke rumah dan mencoba melupakan kejadian itu sebagai ulah iseng anak desa. Namun, malam harinya, ketika ia sedang membaca di ruang tamu, ia mendengar suara.
Klek. Klek.
Suara itu datang dari loteng. Loteng yang telah ditutup dan dikunci rapat sejak ayahnya meninggal dua puluh tahun yang lalu. Loteng yang seharusnya kosong.
Arya mengambil senter dan kunci tua berkarat dari laci meja ayahnya. Ia menaiki tangga kayu yang berderit menuju lantai dua. Di sana, di sudut koridor yang gelap, ada pintu kayu kecil yang menuju ke loteng.
Tangannya gemetar saat ia memasukkan kunci itu. Kunci itu berputar dengan susah payah. Pintu terbuka, mengeluarkan bau apek dan debu yang tebal.
Arya menyalakan senternya dan mengarahkan cahayanya ke dalam. Loteng itu penuh dengan perabotan tua yang ditutup kain putih, koper-koper kuno, dan kotak-kotak yang isinya tak terjamah waktu.
Klek. Klek.
Suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini. Itu adalah suara ayunan yang terbuat dari kayu yang bergesekan dengan tali. Arya mengarahkan senternya ke sudut terjauh.
Di sana, di antara tumpukan kain usang, ada sebuah ayunan kayu kecil. Ayunan mainan milik Laras. Dan ayunan itu, benar-benar berayun, pelan dan teratur, seolah-olah baru saja disentuh.
Arya mematung. Ia yakin betul Bi Surti tidak pernah membersihkan loteng itu, dan tidak ada angin yang bertiup kencang di dalam ruangan tertutup. Ayunan itu berhenti perlahan.
Rasa takut bercampur rasa ingin tahu mendorongnya lebih jauh. Ia mendekati ayunan itu. Ayunan itu tergantung di sebuah balok kayu yang terlihat baru dipasang. Balok itu tampak terlalu kokoh untuk menahan hanya sebuah mainan.
Arya mendorong beberapa kotak kardus di sekitar balok itu. Senter menyorot ke bawah. Di lantai, tergores di debu tebal, ada simbol aneh, menyerupai huruf 'L' yang dihiasi daun-daunan. Itu adalah simbol yang selalu digambar Laras di buku-bukunya.
Arya merasa napasnya tercekat. Ini bukan sekadar kebetulan. Seseorang telah masuk ke loteng ini, dan ia meninggalkan jejak yang berhubungan dengan Laras.
Keesokan paginya, ia memanggil Bi Surti dengan wajah tegang.
“Bi, apakah Bi pernah mendengar atau melihat sesuatu yang aneh belakangan ini?” tanya Arya langsung.
Bi Surti terlihat pucat. “A-aneh bagaimana, Tuan?”
“Jejak kaki di halaman, suara di loteng. Apakah Bi melihat ada orang luar yang masuk?”
Bi Surti menggeleng dengan cemas. “Demi Tuhan, Tuan, Bi tidak pernah melihat siapa pun. Tapi, Bi sering merasa… diawasi. Dan seringkali, Bi merasa ada barang yang berpindah tempat di dapur.”
“Barang apa, Bi?”
“Pisau. Bi yakin sudah meletakkannya di rak, tapi besoknya dia ada di dalam laci bawah. Beberapa kali.” Bi Surti tampak sangat ketakutan.
Arya berusaha menenangkan Bi Surti, tetapi hatinya semakin yakin. Ada penyusup, dan penyusup itu terobsesi dengan Laras.
Ia menghabiskan siang harinya menjelajahi setiap sudut rumah, mencari celah, pintu rahasia, atau tanda-tanda kehadiran yang lain. Ia kembali ke loteng, memeriksa balok kayu tempat ayunan itu tergantung. Balok itu terasa baru, kontras dengan kayu lain yang sudah lapuk.
Arya menekan balok itu. Tidak ada apa-apa. Ia mengetuknya. Bunyinya padat, kecuali satu bagian kecil di ujungnya.
Tuk. Tuk. TONG.
Suara ‘TONG’ itu berbeda, berongga. Dengan sigap, Arya mengambil obeng tua dan mulai mencongkel bagian yang berongga itu. Setelah beberapa menit bekerja keras, sebuah panel kayu kecil terlepas.
Di baliknya, ada sebuah kotak kayu kecil, berdebu, dan di atasnya tertulis inisial 'L.P.' — Laras Pranata.
Arya membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ada tumpukan surat yang diikat dengan pita sutra merah yang sudah pudar. Surat-surat itu ditulis dengan tulisan tangan Laras.
Jantung Arya berpacu. Ini adalah peninggalan adiknya yang belum pernah ia lihat.
Ia mengambil surat teratas. Tanggalnya lima hari sebelum Laras menghilang.
Kepada Kak Arya yang paling kucintai,
Jika Kakak membaca surat ini, berarti aku telah pergi. Aku tahu Kakak akan marah dan kecewa. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, di bawah pengawasan Ayah. Ayah bukan orang yang Kakak kira.
Arya membaca surat-surat itu satu per satu, wajahnya memucat. Surat-surat itu mengungkapkan rahasia gelap Ayah mereka, seorang pria yang di mata publik adalah seorang filantropis terhormat, tetapi di balik pintu ia adalah seorang tiran yang obsesif dan kasar, terutama terhadap Laras.
Surat terakhir bertanggal tepat pada hari Laras menghilang.
Aku akan pergi malam ini. Aku sudah merencanakan ini dengan seseorang yang akan membantuku. Aku takut. Aku hanya berharap suatu hari aku bisa kembali dan menjelaskan semuanya, atau setidaknya bertemu Kakak lagi. Aku mencintai Kakak. Jangan cari aku, Kak. Carilah kebenaran di balik semua kebohongan yang Ayah ciptakan.
Arya menjatuhkan surat-surat itu. Laras tidak diculik. Dia melarikan diri. Dan dia dibantu oleh seseorang. Tapi siapa? Dan mengapa jejak itu muncul lagi sekarang, sepuluh tahun kemudian?
Ia melihat-lihat kotak itu lagi. Di dasarnya, ada sebuah kunci kecil, yang sangat mirip dengan kunci loteng. Kunci itu mengarah ke mana?
Ia memperhatikan ruang kerjanya. Ruangan itu dulunya adalah kamar Ayah. Di ruangan itu, ada sebuah cermin besar, cermin antik dengan bingkai ukiran yang rumit. Cermin itu selalu tergantung di sana, tampak tidak penting.
Arya teringat sesuatu yang ia baca di salah satu buku tua ayahnya: sebuah catatan tentang "pintu yang tidak terlihat".
Ia mendekati cermin itu, menyentuh permukaannya yang dingin. Ia ingat Ayah selalu melarang siapa pun menyentuh cermin itu, dengan alasan itu adalah pusaka rapuh.
Arya melihat ke sekeliling, mencari tempat untuk kunci kecil yang ia temukan. Matanya tertuju pada bingkai cermin. Di sudut bawah, di antara ukiran daun, ada sebuah lubang kunci kecil, hampir tidak terlihat.
Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci itu. Kunci itu berputar dengan lancar.
Kreakkk…
Cermin itu bergeser ke samping, tidak terlepas, tetapi berputar di engsel tersembunyi, menampakkan sebuah lorong gelap di baliknya. Itu adalah ruang rahasia yang tersembunyi di balik dinding.
Arya menyalakan senternya dan masuk. Udara di sana pengap dan basi.
Lorong itu mengarah ke sebuah ruangan kecil, tidak lebih besar dari lemari pakaian. Di dalamnya, ada meja kayu kecil, lampu minyak yang sudah lama mati, dan sebuah jurnal yang tebal.
Arya meraih jurnal itu. Itu adalah tulisan tangan Ayah. Jurnal harian.
Ia membalik halaman-halaman itu, membaca dengan cepat, mencerna rahasia-rahasia keluarga yang busuk. Ayahnya bukan hanya seorang tiran; dia adalah seorang penguntit, seorang pengontrol, yang memanipulasi setiap aspek kehidupan Laras. Ia bahkan memasang alat penyadap di kamar Laras.
Namun, di halaman-halaman terakhir, ada tanggal yang menonjol: Hari Hilangnya Laras.
“Dia mencoba kabur. Bodoh! Dia pikir dia bisa melarikan diri dariku. Orang itu, temannya, membantunya. Aku melihat mereka di jendela kaca belakang. Mereka melompati pagar. Aku berhasil mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan rahasia ini terbongkar. Tidak akan pernah! Aku harus mengurusnya. Tapi di mana? Di mana aku harus menyembunyikannya?”
Arya menjatuhkan jurnal itu. Air mata dan amarah membakar matanya. Ayahnya tidak hanya menyembunyikan Laras; Ayahnya telah membunuhnya. Dan mayatnya masih tersembunyi di suatu tempat di rumah ini. Jejak kaki dan suara-suara itu mungkin adalah hantu Laras, memanggilnya untuk menemukan kebenaran.
Ia kembali ke jurnal, membalik ke halaman terakhir yang diisi.
“Loteng. Itu adalah tempat yang sempurna. Di bawah balok yang baru ku pasang. Di mana ia sering bermain ayunan. Tidak ada yang akan melihatnya di sana. Kecuali... dia.”
’Dia’ siapa? Arya bertanya-tanya.
Arya bergegas kembali ke loteng. Ia mencabut paksa balok kayu tempat ayunan tergantung. Di bawahnya, lantai kayu tampak berbeda. Ia mengambil linggis tua dan mulai membongkar lantai itu.
Setelah beberapa saat, lantai itu terkuak, menampakkan ruang hampa di bawahnya. Aroma amis, bau tanah basah yang kuat, menyergapnya.
Arya mengarahkan senternya ke bawah. Di sana, terbungkus kain kafan usang, ada sebuah kerangka kecil.
Arya tersungkur di lantai. Jeritan pilu keluar dari tenggorokannya. Laras! Ia telah menemukan adiknya, setelah sepuluh tahun pencarian yang sia-sia, tersembunyi di rumahnya sendiri.
Ia duduk di samping lubang itu, meratap, memegang kunci kecil di tangannya. Ia harus memanggil polisi. Ia harus mengungkapkan kejahatan ayahnya.
Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu.
Kunci di tangannya. Kunci yang membuka lemari rahasia di ruang kerja. Kunci yang didapatnya dari kotak milik Laras. Kunci ini...
Ia melihat ke dalam lubang. Kain kafan itu, setelah sekian lama, sudah rapuh. Sehelai kain itu sedikit tersingkap, menampakkan sepotong perhiasan di leher kerangka itu.
Itu adalah liontin kristal kecil, hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas dari dirinya sendiri. Tapi liontin itu... warnanya biru. Laras menyukai biru.
Ia melihat ke belakang. Di dekat pintu loteng, tergantung jaket tebalnya. Ia ingat bahwa di saku jaket itu, ia membawa liontin yang sama. Liontin yang ia yakini adalah liontin kesukaan Laras. Hanya saja, miliknya... berwarna merah. Ia membeli dua, satu merah untuk dirinya dan satu biru untuk Laras.
Arya merasa sangat dingin, bukan karena udara, tapi karena ketakutan yang mencekik.
Kelemahan kecil. Ingatan yang salah. Tapi itu membuat seluruh cerita menjadi janggal.
Ia bangkit, kakinya kaku. Ia merangkak keluar dari loteng, meninggalkan lubang gelap itu. Ia bergegas menuruni tangga. Ia harus pergi dari sini.
“Dia mencoba kabur. Bodoh! Dia pikir dia bisa melarikan diri dariku. Orang itu, temannya, membantunya. Aku melihat mereka di jendela kaca belakang. Mereka melompati pagar. Aku berhasil mengejar mereka. Aku tidak bisa membiarkan rahasia ini terbongkar. Tidak akan pernah! Aku harus mengurusnya. Tapi di mana? Di mana aku harus menyembunyikannya?”
“Aku harus mengurusnya.”
Ayahnya tidak pernah menyebut Laras. Ayahnya selalu menulis tentang 'Dia'.
Arya membuka lembaran baru di jurnal itu, yang diselipkan di antara halaman-halaman terakhir. Itu adalah tulisan tangan yang berbeda, lebih rapi, tetapi tinta yang sama.
“Aku tahu dia akan menemukannya. Aku harus memastikan dia menyalahkan Ayah. Jejak kaki di halaman. Ayunan di loteng. Kunci di balik panel balok. Semua itu akan mengarah ke tempat persembunyian ‘Dia’.”
Arya menjatuhkan jurnal itu, nafasnya terengah-engah.
Plot Twist Pertama: Bukan Laras yang menulis surat itu.
Surat itu ditulis dengan tulisan tangan Laras, tetapi surat itu baru, kertasnya tidak rapuh, dan tinta belum pudar. Surat itu dimasukkan ke kotak setelah Ayah meninggal.
Arya, sebagai penulis misteri, mulai menyusun teka-teki itu dalam pikirannya.
Jejak Kaki: Seseorang masuk.
Ayunan Bergerak: Seseorang ingin Arya pergi ke loteng.
Surat Laras: Ditulis Laras, tapi diselipkan oleh penyusup untuk memanipulasi Arya agar mencari bukti.
Jurnal Ayah: Ayah menulis tentang 'Dia', bukan Laras. Kerangka itu mengenakan liontin biru, liontin Laras.
Jika kerangka itu adalah Laras, siapa 'Dia' yang Ayah sembunyikan?
Arya bergegas ke luar, ke halaman belakang. Ia memeriksa pagar yang rusak lagi. Ia membongkar tanah yang berlumpur.
Di sana, ia menemukan sesuatu. Bukan tulang, bukan mayat, tetapi sebuah dompet kecil, basah dan berlumut.
Arya membukanya. Di dalamnya, ada kartu identitas dengan foto seorang wanita muda yang tampak akrab, rambut pirang dan mata hijau. Namanya: Santi Wijaya. Dan dia adalah pacar Ayah, yang hilang secara misterius empat puluh tahun yang lalu.
Arya kembali ke jurnal Ayah.
“... Aku harus mengurusnya. Tapi di mana? Di mana aku harus menyembunyikannya?”
“Loteng. Itu adalah tempat yang sempurna. Di bawah balok yang baru ku pasang. Di mana ia sering bermain ayunan. Tidak ada yang akan melihatnya di sana. Kecuali... dia.”
’Dia’ yang dimaksud Ayah pasti seseorang yang tahu kebiasaan loteng itu. Laras tahu. Arya tahu. Tapi siapa lagi?
Arya kembali ke surat. Di surat terakhir, Laras menyebutkan: “Aku sudah merencanakan ini dengan seseorang yang akan membantuku.”
Siapa orang itu? Siapa yang mengenal detail rumah ini, kebiasaan Laras, bahkan tulisan tangannya? Siapa yang masih tinggal di rumah ini?
Ia memasukkan kunci loteng yang berkarat itu. Kunci itu cocok.
Cermin itu bergeser ke samping, menampakkan lorong lain. Lorong ini jauh lebih panjang dan lebih gelap, berujung pada sebuah ruangan kecil yang disembunyikan.
Arya masuk, jantungnya berdebar kencang. Ruangan itu tampak seperti studio kecil. Ada meja kerja, pena, kertas, dan tumpukan manuskrip baru. Dan di dinding, ada mind map besar. Di tengahnya, tertulis: Kisah Hilangnya Laras: Novel Misteri Sempurna.
Itu adalah mind map karyanya. Karya yang ia tulis selama enam bulan terakhir. Karya yang ia pikir belum ia mulai.
Arya berjalan ke meja. Di atasnya, ada sebuah buku harian. Itu bukan miliknya, bukan milik Ayah, tetapi milik Bi Surti.
Arya mengambil buku harian itu dan membacanya dengan cepat.
Bi Surti mencatat setiap detail kecil kehidupan keluarga Pranata, termasuk obsesi Ayah, keributan malam hilangnya Laras, bahkan detail pakaian dan perhiasan yang dikenakan Laras.
Dan di bagian akhir, dengan tulisan yang sama dengan surat yang ia temukan di loteng:
“Arya harus menyalahkan Ayah. Hanya itu cara agar aku bisa mendapatkan keadilan untuk Laras. Aku akan membuatnya berpikir dia sedang memecahkan misteri. Aku akan memberinya inspirasi yang dia butuhkan. Aku telah menyembunyikan 'Dia' di loteng. Kerangka anak itu adalah anakku yang keguguran. Aku memakaikannya liontin biru milik Laras. Sekarang, aku hanya perlu menunggunya menemukan kebenaran yang aku ciptakan.”
Ia keluar dari ruangan itu dan berbalik. Di ambang pintu, berdiri Bi Surti. Wajahnya tidak lagi ramah, tetapi dingin, matanya berkilat gila. Di tangannya, ia memegang pisau dapur yang hilang.
“Kau menemukannya, Tuan Arya,” kata Bi Surti, suaranya tenang, dingin. “Luar biasa. Cerita yang sempurna, bukan?”
“Mengapa, Bi?” tanya Arya, suaranya hampir tidak terdengar.
“Keadilan. Ayahmu tidak hanya membunuh Laras secara emosional. Pada malam itu, Laras tidak melarikan diri. Dia mencoba melindungi Bi. Ayahmu mencoba mencekik Bi karena Bi menolong Laras untuk kabur. Laras datang dan mencoba menghentikannya. Ayahmu mendorongnya dengan sangat keras. Laras jatuh, kepalanya membentur sudut perapian di ruang tamu. Dia meninggal, Tuan. Bukan melarikan diri.”
Bi Surti maju selangkah. “Ayahmu panik. Dia memaksaku membantunya menyembunyikan Laras di bawah tanah di halaman belakang. Dia mengancam akan membunuh anakku sendiri jika aku melapor.”
Arya teringat kerangka di loteng. “Kerangka itu… anak Bi?”
“Anakku yang mati lahir. Aku tidak bisa membuangnya. Aku menyimpannya. Aku menaruhnya di sana untuk mengalihkanmu. Ayahmu sendiri yang bunuh diri sebulan kemudian, tidak tahan dengan dosa-dosanya.”
“Jadi, kau… kau yang menciptakan semua jejak ini? Kau menulis surat itu?”
“Tentu saja. Laras adalah anakku juga, Tuan. Kami sangat dekat. Ayahmu menyakiti kami berdua. Kau butuh inspirasi. Dan aku butuh keadilan. Aku menulis surat itu, meniru tulisan tangan Laras. Aku menggerakkan ayunan. Aku menggores jejak kaki. Aku merancang seluruh misteri ini agar kau, seorang penulis misteri yang hebat, akan menulis kebenaran, menyalahkan Ayahmu, dan mengakhiri penderitaan kami.”
Bi Surti mengangkat pisau itu, air mata mengalir di pipinya yang keriput.
“Sekarang, Tuan Arya. Akhiri cerita ini. Tulis ending yang sempurna,” bisiknya.
Arya menatap mata Bi Surti, bukan lagi sebagai pelayan, tetapi sebagai korban dan perancang yang jenius.
“Di mana Laras yang sebenarnya, Bi?” tanyanya pelan.
Bi Surti tersenyum pahit. “Di tempat yang paling dia sukai, Tuan. Di antara sedap malam di halaman belakang. Bi sudah memanggil polisi. Polisi akan datang. Dan mereka akan menemukan ceritanya, persis seperti yang Bi rancang.”
Tiba-tiba, lampu padam. Kegelapan total. Arya mendengar langkah Bi Surti mundur dan kemudian suara pintu dibanting keras.
Arya berlari keluar dari ruang rahasia, kembali ke ruang tamu yang gelap. Ia meraih telepon dan memanggil polisi, sebelum ia menyadari bahwa Bi Surti sudah melakukannya.
Ia berdiri di tengah ruang tamu, di tempat di mana Laras jatuh sepuluh tahun yang lalu. Ia tahu kebenaran yang sebenarnya. Kebenaran yang sangat pahit.
Ia telah menghabiskan enam bulan mencari inspirasi untuk novelnya. Ia tidak menyadari bahwa ia tidak hanya mencari inspirasi, ia adalah karakter utama dalam plot twist yang dirancang oleh orang yang paling ia percayai, hanya untuk mengungkapkan kebenaran yang disembunyikan.
Arya melihat ke luar jendela. Lampu mobil polisi sudah terlihat di jalan masuk. Cahaya mereka menyinari halaman belakang, tepat di bawah pohon beringin tua. Di sana, di antara semak-semak, sebuah gundukan tanah tampak baru dan segar.
Arya tersenyum tipis. Ia sudah menemukan akhir cerita untuk novelnya. Novel yang sudah selesai, sebelum ia sempat menuliskannya.
Gabung dalam percakapan