Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB IV : Bayangan Sang Raja
![]() |
| Novel kerajaan |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
BAB IV — Bayangan Sang Raja
Pagi itu, kabut menutupi seluruh lembah Eldoria seperti tirai perak yang enggan terangkat. Burung-burung tidak bernyanyi, seolah alam sendiri enggan membangunkan hari. Adrian berdiri di jalan batu menuju istana, dengan jubah panjang dan mata yang letih oleh malam tanpa tidur.
Di tangannya tergenggam dua benda: buku harian Permaisuri Elara dan catatan beracun bertanda Mortain.
Kedua benda itu kini menjadi beban di pundaknya — bukan sekadar benda peninggalan, tetapi kunci menuju kebenaran yang mungkin menghancurkan kerajaan.
Ia menatap puncak menara istana yang tertutup awan. Di sanalah raja tua itu tinggal — Leopold IV, penguasa yang kini jarang muncul di hadapan rakyat, hidup dalam bayangan dan sakit-sakitan.
“Jika kau memang ayahku,” bisik Adrian dalam hati, “aku akan memintamu menjelaskan segalanya.”
Gerbang istana masih dijaga dengan disiplin. Dua penjaga menatap curiga ketika Adrian mendekat, wajahnya asing bagi mereka. Namun, begitu ia menunjukkan segilintir medali phoenix permaisuri yang ia temukan sebelumnya, para penjaga itu saling pandang, lalu membuka jalan.
“Medali itu hanya dimiliki keluarga kerajaan,” kata salah satu dari mereka pelan. “Dari mana kau mendapatkannya?”
“Dari darah yang sama dengan mereka,” jawab Adrian tenang.
Ia melangkah masuk ke aula utama — ruangan megah dengan pilar marmer putih dan lukisan raja-raja terdahulu. Namun keindahan itu terasa kosong. Hanya gema langkahnya sendiri yang terdengar.
Di ujung aula, seorang lelaki tua dengan jubah ungu berdiri menatap jendela besar. Rambutnya telah memutih seluruhnya, bahunya membungkuk, tapi auranya masih menyimpan wibawa dingin yang membuat udara seolah menahan napas.
Raja Leopold IV.
Ketika raja menoleh, mata mereka bertemu — mata tua yang redup dan mata muda yang berkilat penasaran.
Seketika, udara di antara mereka terasa berat, seolah masa lalu ikut hadir di ruangan itu.
“Siapa kau?” suara raja parau namun tegas.
“Namaku Adrian, Tuanku,” jawabnya menunduk sedikit.
“Adrian…” Raja mengulang nama itu perlahan, seperti mencicipi sesuatu yang pahit. “Aku tidak mengenal nama itu. Apa yang membuatmu berani menembus gerbang istanaku tanpa panggilan?”
Adrian melangkah maju. Ia meletakkan buku harian Elara di meja marmer di hadapan raja.
“Aku datang membawa sesuatu yang seharusnya tidak hilang dari istana ini.”
Leopold menatap buku itu lama sekali. Tangannya gemetar ketika menyentuh kulit birunya.
“Dari mana kau mendapatkan ini?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Dari menara utara,” jawab Adrian. “Tempat di mana permaisuri menghabiskan hari-hari terakhirnya.”
Mata raja menajam, seolah luka lama kembali berdarah.
“Tidak ada yang boleh menyebut tempat itu,” desisnya. “Tempat itu terkutuk.”
“Justru di situlah kebenaran dikubur,” balas Adrian. “Aku menemukan catatan tentang Lord Mortain, tentang racun, tentang anak yang dikandung Permaisuri Elara sebelum beliau menghilang. Semua orang percaya beliau mati karena sakit, tapi makamnya kosong, Tuanku. Kosong.”
Raja menatapnya lama sekali, tak bersuara.
Lalu perlahan ia berdiri, berjalan ke arah jendela, menatap taman istana yang berkabut.
“Anak muda,” katanya akhirnya, “kau sedang bermain dengan api yang telah membakar banyak orang. Apa pun yang kau dengar, tinggalkanlah. Eldoria dibangun di atas rahasia — dan beberapa rahasia harus mati bersama pemiliknya.”
Adrian menggenggam buku itu erat.
“Aku tidak bisa. Aku membaca tulisan tangannya sendiri. Ia takut, ia sendirian, dan ia tahu seseorang ingin membunuhnya. Jika kau mencintainya, kau berutang untuk menjelaskan.”
Leopold menutup mata sejenak. Ketika ia kembali membuka, air mata samar menggenang di sudutnya.
“Cinta…” katanya pelan. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, anak muda.”
Ia berjalan pelan ke meja, membuka buku harian itu, dan membaca beberapa baris.
Tangannya bergetar saat jari-jarinya menyentuh kalimat terakhir di halaman terakhir.
Ia berbisik lirih, seolah berbicara kepada arwah:
“‘Aku mencintainya. Ia bukan anak dari dosa.’”
Raja menutup buku itu, memalingkan wajah. “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Adrian.”
“Kalau begitu, katakanlah pada saya, Tuanku,” desak Adrian. “Siapa yang membunuhnya?”
Hening panjang.
Jam berdentang pelan di dinding.
Lalu, raja berkata dengan suara yang hampir tak terdengar:
"Ia tidak dibunuh."
Adrian menatap tak percaya.
“Bagaimana mungkin? Aku menemukan racun, catatan Mortain, semua—”
“Mortain hanya melakukan apa yang kuperintahkan,” potong Leopold cepat.
Adrian terdiam. Suara itu seperti petir yang menyambar jantungnya.
“Jadi… kau yang memerintahkannya?”
Raja memejamkan mata, wajahnya hancur oleh penyesalan.
“Aku memerintahkan agar ia dibawa pergi. Aku tidak tahu bahwa Mortain akan memilih cara yang… lebih cepat.”
“Lebih cepat?” suara Adrian meninggi. “Kau menyebut pembunuhan ‘lebih cepat’? Ia mengandung, Tuanku! Ia sedang membawa—”
Raja menghentikannya dengan tatapan yang mematikan.
“Aku tahu,” katanya dingin. “Aku tahu anak itu ada. Karena akulah… ayah dari anak itu.”
Kata-kata itu jatuh seperti pedang.
Ruangan tiba-tiba terasa sempit, udara menolak masuk ke paru-paru Adrian.
Ia mundur setapak, menatap raja dengan pandangan campuran antara ngeri dan tidak percaya.
“Kau…?” bisiknya.
Raja Leopold menunduk. “Elara adalah istriku, tetapi juga cintaku yang kutakuti. Ketika aku tahu ia mengandung, aku seharusnya bahagia. Tapi kerajaan ini haus darah biru yang murni. Ada rumor… bahwa ia dekat dengan Alaric, komandan pengawal. Aku buta oleh amarah dan rasa cemburu.”
Ia berhenti sejenak, suaranya bergetar.
“Malam itu, aku memerintahkan Mortain untuk mengurungnya di menara. Hanya sampai ia melahirkan, lalu kita akan mengatur segalanya dengan cara terhormat. Tapi Mortain berpikir aku ingin ia disingkirkan. Ia menafsirkan perintahku sebagai eksekusi.”
“Dan kau tidak menghentikannya?” suara Adrian gemetar.
“Aku baru tahu setelah semuanya terjadi. Ketika mereka membawaku tubuh tanpa nyawa itu, dunia di sekitarku runtuh.”
Raja menatap Adrian lama sekali, lalu berkata perlahan:
“Anak itu sempat lahir, Adrian. Seorang bayi laki-laki dengan mata biru seperti ibunya. Mereka menyembunyikannya. Aku mencarinya bertahun-tahun, tapi tak pernah kutemukan.”
Suara raja kini melemah, seolah dibebani penyesalan seumur hidup.
“Dan kini kau datang membawa buku itu, membawa wajah yang sama dengannya…”
Ia mengulurkan tangan gemetar, menyentuh wajah Adrian. “Kau… darahnya.”
Adrian terpaku.
Kata-kata itu menembus segala keraguan yang selama ini mengganggunya.
Wajah Elara di potret tua, rahasia Mortain, getaran aneh yang ia rasakan di menara — semuanya kini terhubung.
“Aku… putra Elara?” bisiknya.
Raja mengangguk lemah.
“Kau adalah putra mahkota Eldoria yang hilang. Pewaris sah yang tak pernah kuminum susu kebahagiaannya.”
Keheningan panjang memenuhi ruangan.
Hanya bunyi angin yang menggesek kaca jendela seperti rintihan.
Adrian menatap raja, antara marah dan iba.
“Jadi semua ini karena kebohongan dan rasa takutmu sendiri. Karena kau lebih mencintai mahkota daripada ibuku.”
Raja tidak menjawab. Air mata menetes di pipinya yang keriput.
“Aku sudah membayar dengan sisa hidupku,” katanya lirih. “Setiap malam aku mendengar suaranya memanggil dari menara. Aku tak pernah tidur tanpa mimpi buruk itu.”
Adrian menutup matanya, menahan air mata yang ingin pecah.
“Aku datang bukan untuk membalas dendam,” katanya akhirnya. “Aku datang untuk mengakhiri kebohongan yang menelan sejarah ini.”
Raja memandangnya lama, lalu tersenyum samar — senyum yang lebih menyerupai luka.
“Maka lakukanlah, anakku. Buka kebenaran itu. Tapi ingat… kerajaan ini dibangun di atas darah dan dosa. Jika kau menggali terlalu dalam, mungkin Eldoria sendiri akan runtuh.”
Raja Leopold berbalik ke jendela, menatap matahari yang mulai naik di balik kabut.
Cahaya keemasan memantul di mahkotanya, tapi wajahnya tampak lelah dan rapuh — seperti bayangan terakhir seorang raja yang pernah menjadi manusia.
Ketika Adrian meninggalkan aula, langkahnya bergema panjang di koridor batu.
Ia tahu kini kebenaran pertama telah terkuak, namun misteri yang lebih gelap masih menunggu:
Jika raja bukan pembunuh langsung, siapa yang benar-benar menghabisi Permaisuri Elara?
Dan mengapa Mortain berkata bahwa ia “melindungi darahnya”?
Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya saat ia melangkah ke arah taman kerajaan, di mana patung Elara berdiri anggun — wajahnya tenang, tapi matanya seolah menyimpan rahasia yang belum selesai diungkap.

Gabung dalam percakapan