Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB V : RAHASIA MORTAIN

Mortain? siapakah dia? apa yang ia sembunyikan?. Temukan jawabannya disini, sebuah novel Kerajaan Eropa fiktif penuh misteri dan plot wist.

novel by dyah

 

Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif

oleh Dyah Ayu Maharani


Bab Sebelumnya


BAB V – RAHASIA MORTAIN

Kabut turun lebih pekat dari biasanya malam itu, menyelimuti menara utara seperti kain duka yang enggan tersingkap. Adrian berjalan perlahan melewati koridor batu berlumut, setiap langkahnya menggema berat di antara dinding yang basah dan dingin. Di tangan kanannya, obor kecil bergetar oleh angin yang datang dari celah jendela tua. Bau besi, jamur, dan rahasia yang membusuk memenuhi udara.

Mortain tinggal di sini — begitulah kabar yang didengarnya dari penjaga dapur tua. Sejak peristiwa berdarah dua dekade silam, sang tabib kerajaan itu memilih menyepi. Tidak seorang pun di istana tahu pasti apakah ia masih melayani raja, atau justru dikurung agar rahasianya tidak keluar.

Adrian tiba di pintu kayu berat yang dicat hitam. Di tengahnya, tergantung simbol phoenix berwarna perak, separuh terkelupas oleh usia. Ia mengetuk tiga kali.

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, lebih keras, hingga suara berderak dari dalam. Engsel berdecit pelan, lalu muncullah sosok kurus dengan jubah kelabu, rambut seputih salju, dan mata setajam bilah pisau yang menatap langsung ke dalam jiwanya.

“Pangeran Adrian,” suara itu serak namun tetap berwibawa. “Aku sudah menunggumu.”

Adrian tertegun.
“Menungguku?” tanyanya. “Bagaimana kau tahu aku akan datang?”

Mortain tersenyum samar, bibirnya nyaris tak bergerak.
“Anak Elara selalu mengikuti jejak ibunya, cepat atau lambat.”

Kata itu menghantam dada Adrian seperti palu baja. “Apa kau bilang?” suaranya gemetar. “Kau mengenal ibuku?”

“Masuklah,” ujar Mortain. “Kita tidak seharusnya membicarakan bayangan di tempat terbuka.”


Ruangan itu sempit dan gelap, diterangi hanya oleh lilin-lilin pendek di atas meja batu. Di sana berserakan gulungan naskah, botol kaca berisi cairan tak dikenal, dan sebuah peti kayu tertutup kain merah tua.

Mortain berjalan lambat menuju meja, lalu menatap Adrian tanpa berkedip.
“Kau mencari kebenaran tentang kematian Permaisuri Elara, bukan?” katanya.

Adrian mengangguk. “Aku ingin tahu semuanya. Semua orang di istana berbohong. Raja, penasihat, bahkan para imam.”
Nafasnya memburu. “Kau yang meracuni ibuku, bukan?”

Mortain terdiam lama, kemudian menarik napas panjang.
“Aku tidak membunuhnya, Pangeran. Aku menyelamatkannya.”

Adrian menatapnya tajam, setengah tak percaya. “Kau berani mengaku menyelamatkannya? Semua bukti menunjuk padamu— racun, surat, bahkan catatan di menara ini!”

Mortain membuka peti kayu, memperlihatkan botol kaca bening yang memantulkan cahaya lilin. Cairan di dalamnya berwarna ungu pucat, berkilau lembut.

“Itu bukan racun,” katanya pelan. “Itu serum tidur — ramuan yang kubuat untuk memperlambat detak jantung hingga nyaris tak terdeteksi. Elara meminumnya malam sebelum penobatan ratu baru. Dunia mengira ia mati. Tapi aku dan dua orang lain membawa tubuhnya keluar istana lewat lorong bawah tanah.”

Adrian mundur selangkah. “Mustahil…”

Mortain menatapnya tanpa emosi. “Yang mustahil hanyalah kebenaran yang tak diinginkan orang berkuasa.”

Ia berjalan ke arah dinding dan menggeser rak buku tua. Di baliknya terbuka ruang rahasia — semacam altar kecil dengan simbol phoenix terukir di batu. Di atasnya tergantung jubah sutra biru yang masih menebar aroma lavender.

“Itu milik ibumu,” kata Mortain lembut. “Ia memakainya malam terakhir di istana. Aku menyimpannya agar kau tahu bahwa aku tidak berbohong.”

Adrian mendekat, menyentuh kain lembut itu dengan tangan bergetar.
“Jika kau benar menyelamatkannya… ke mana ia pergi?”

Mortain menghela napas, menatap api lilin. “Ke tempat di mana raja tak bisa mencapainya — ke biara Saint Valeria di utara. Ia melahirkan di sana, beberapa minggu kemudian.”

Adrian menatapnya dengan mata membesar. “Melahirkan? Jadi… aku—”

“Adalah anak yang tak seharusnya ada,” potong Mortain pelan. “Darahmu membawa dua kutuk sekaligus — cinta dan dosa.”

Hening panjang menyelimuti ruangan. Di luar, angin meraung seperti serigala yang kehilangan kawanan. Adrian berusaha menahan gemetar, tapi suara Mortain terus bergema di kepalanya.

“Kenapa kau tidak mengatakan ini sejak dulu?” tanya Adrian akhirnya. “Kenapa membiarkan semua orang mengira ibuku mati dibunuh?”

Mortain menatapnya, mata tuanya berkaca-kaca untuk pertama kalinya.
“Karena orang-orang yang berkuasa di istana tidak ingin kebenaran hidup lebih lama dari tubuh Elara. Jika aku bicara, aku dan kau akan dikubur bersama rahasianya.”

Adrian memalingkan wajah, menahan amarah dan tangis sekaligus. “Dan sekarang kau bicara, setelah dua puluh tahun?”

“Aku menua, Pangeran. Waktu menipis. Dan aku tahu mereka sudah mulai memburumu. Ada yang tak ingin kau menemukan sisa-sisa kebenaran itu.”

“Siapa mereka?”

Mortain menatap lurus ke mata Adrian.
“Perempuan yang duduk di sisi kanan raja. Lady Mircea.”

Nama itu menusuk seperti duri dingin. Lady Mircea — penasihat kepercayaan Raja Leopold, perempuan dengan wajah tanpa usia dan senyum setajam kaca.

“Aku pernah melihatnya di ruang takhta,” bisik Adrian. “Ia memandangku seperti mengenal diriku.”

Mortain mengangguk pelan. “Karena dia memang mengenalmu. Lebih dari yang kau kira.”


Lilin bergetar, seolah turut merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Adrian menatap jubah biru itu lama, lalu menoleh ke Mortain. “Apa yang terjadi pada ibuku setelah ia melahirkan?”

Mortain terdiam cukup lama hingga Adrian hampir kehilangan kesabaran. Akhirnya ia berkata dengan suara serak:

“Setelah kau lahir, aku menyembunyikanmu di lembah timur. Seorang pendeta tua membesarkanmu tanpa nama. Aku kembali ke biara Saint Valeria seminggu kemudian… tapi Elara sudah pergi. Yang kutemukan hanyalah sepucuk surat dengan cap phoenix.”

Ia mengeluarkan secarik kertas kuno dari balik jubahnya, menyerahkannya pada Adrian.
Kertas itu rapuh, tinta sudah pudar, tapi tulisan tangan halus Elara masih terbaca jelas:

"Jika kelak darahku mencariku, katakan padanya bahwa cinta dan dosa sama-sama mengandung nyala api. Aku memilih terbakar agar ia bisa hidup."

Air mata Adrian jatuh ke kertas itu, membentuk bintik kecil yang segera mengaburkan tinta.

“Dia mencintaiku…” gumamnya parau. “Dan kau membiarkannya pergi sendirian?”

Mortain menunduk dalam penyesalan. “Aku membiarkannya karena ia memintaku. Ada kekuatan yang lebih gelap dari ambisi manusia, Pangeran. Sesuatu yang telah tumbuh di istana bahkan sebelum kau lahir.”

“Kekuatan apa?”

Mortain menatapnya dalam-dalam. “Rahim kerajaan selalu mengandung dua warisan: mahkota dan kutukan. Elara membawa keduanya. Dan kini, kutukan itu turun padamu.”


Suara langkah mendadak terdengar di luar pintu — berat, teratur, dan banyak. Adrian menoleh cepat. Mortain memadamkan lilin dengan satu gerakan.

“Penjaga istana,” bisiknya cepat. “Mereka sudah tahu kau di sini. Pergilah melalui lorong bawah tanah.”

“Tapi—”

“Sekarang, Pangeran!” Mortain mendorong batu di dinding, membuka pintu rahasia menuju terowongan sempit.

Sebelum Adrian masuk, ia sempat menoleh. “Kau akan ikut, bukan?”

Mortain tersenyum samar, wajahnya tertelan bayangan.
“Aku sudah lama mati di mata dunia. Tapi kau… kaulah yang harus hidup untuk menyalakan kembali api yang mereka padamkan.”

Pintu batu menutup dengan suara berat.
Adrian berlari dalam gelap, membawa surat ibunya yang kini terasa lebih panas dari bara api.

Di belakangnya, samar-samar terdengar teriakan dan dentingan logam. Lalu hening.

Ketika ia akhirnya muncul di luar istana, kabut masih tebal, tapi di langit timur mulai tampak seberkas cahaya.

Fajar pertama — tanda bahwa rahasia lama telah bangkit bersama hari baru.



Bab Selanjutnya