Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB VI : JEJAK SAINT VALERIA
![]() |
| NOVEL MISTERI EROPA FIKSI |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
BAB VI – JEJAK SAINT VALERIA
Kabut pagi di Eldoria perlahan terangkat, menyisakan hamparan tanah lembap dan aroma hujan semalam. Di kejauhan, menara biara Saint Valeria berdiri anggun di puncak tebing, seolah menggenggam langit yang kelabu. Burung-burung gereja beterbangan rendah, dan lonceng biara berdentang lembut — suara yang terdengar lebih seperti ratapan daripada doa.
Adrian menuntun kudanya menembus jalan berbatu yang curam. Ia belum tidur sejak malam di menara Mortain. Surat Elara yang dibawanya kini terlipat rapi di saku dada, dekat jantungnya, seolah kertas tua itu bisa memberinya keberanian.
Sejak meninggalkan istana, ia tak lagi menoleh ke belakang. Ia tahu, setiap langkah yang diambil kini membawa dua konsekuensi: kebenaran, atau kematian.
Menjelang siang, biara tampak semakin jelas — bangunan batu abu-abu dengan jendela tinggi melengkung, ditumbuhi tanaman ivy yang merambat liar. Gerbang besinya terbuka sedikit, seperti mengundangnya masuk. Dua biarawati berdiri di halaman, menjemur kain putih, memandang Adrian dengan tatapan waspada.
“Aku mencari Ibu Kepala,” kata Adrian sopan setelah turun dari kuda. “Aku datang dari istana. Namaku Adrian.”
Salah satu biarawati, perempuan tua dengan wajah lemah lembut, menatapnya lama sebelum menjawab, “Istana sudah lama tak mengirim utusan ke tempat ini, Pangeran. Apa yang Tuan cari di biara orang mati?”
Adrian menunduk hormat. “Aku mencari kebenaran tentang seseorang yang pernah berlindung di sini. Seorang perempuan bernama Elara.”
Lorong dalam biara terasa dingin dan sunyi. Bau lilin dan dupa bercampur dengan aroma lembap batu tua. Lukisan para santo menghiasi dinding, namun di mata Adrian, semuanya tampak seperti saksi bisu masa lalu.
Ibu Kepala menunggu di ruang doa — seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahun dengan jubah putih dan mata tajam. Ia duduk di kursi kayu tinggi, tangan bersilang di pangkuan.
“Pangeran Adrian,” katanya datar. “Kami tahu suatu hari seseorang dari istana akan datang. Pertanyaannya, apakah Tuan datang untuk mencari penebusan, atau penghancuran?”
Adrian menatapnya penuh tekad. “Aku datang untuk mencari ibuku.”
Ia bangkit, berjalan ke arah altar, dan mengangkat kain putih yang menutupi peti kayu kecil. Di atasnya terukir lambang phoenix — sama seperti pada surat Elara dan simbol di kamar Mortain.
“Ini peninggalannya,” kata Ibu Kepala lembut. “Ia datang ke sini dalam keadaan terluka parah. Kami merawatnya hingga ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Beberapa hari kemudian, seorang pria berjubah abu-abu datang dan membawa bayinya pergi. Kami tidak pernah melihatnya lagi.”
Adrian terdiam lama, matanya tertuju pada peti itu. “Apakah ibuku masih di sini saat itu?”
“Tidak lama,” jawab Ibu Kepala. “Pagi setelah pria itu pergi, Elara menghilang. Kami menemukannya di tepi tebing, hanya jubahnya yang tertinggal, basah oleh embun dan air mata. Banyak yang percaya ia melompat ke laut. Tapi aku tahu… dia memilih jalan lain.”
“Jalan lain?” Adrian menatapnya heran.
Ibu Kepala mendekat, berbisik, “Beberapa hari sebelum menghilang, dia meninggalkan ini di ruang doa.”
Ia menyerahkan sebuah buku doa kecil, kulitnya lusuh dan dihiasi sulaman bunga lili emas. Di dalamnya terselip secarik kertas dengan tulisan tangan halus:
"Jika bayanganku kelak berjalan di bawah matahari, maka dunia akan tahu bahwa api belum padam. Carilah Sang Cermin — karena hanya ia yang mampu memantulkan wajahku yang sejati."
Adrian menggenggam kertas itu erat. “Sang Cermin… apa maksudnya?”
Ibu Kepala menggeleng pelan. “Kami tak tahu. Namun beberapa bulan setelah Elara pergi, seorang perempuan datang, mengaku dikirim oleh ratu baru. Ia menanyakan hal yang sama. Wajahnya pucat, matanya seperti es.”
“Siapa namanya?”
Ibu Kepala menatapnya penuh rasa ngeri. “Lady Mircea.”
“Dia datang ke sini?” bisik Adrian.
Ibu Kepala mengangguk. “Ia menuntut agar semua catatan tentang Elara dimusnahkan. Ia membawa api dan penjaga bersenjata. Kami berusaha menyelamatkan yang bisa kami selamatkan.” Ia menatap peti phoenix itu. “Beberapa benda ini lolos karena kusimpan di ruang bawah tanah.”
“Dan kau menyembunyikannya dua puluh tahun lamanya?”
“Karena aku tahu suatu hari, anak Elara akan datang mencarinya.”
Adrian membuka peti itu perlahan. Di dalamnya ada selendang biru muda, bros berbentuk burung, dan potret kecil Elara yang dilukis di atas gading. Tapi ada satu benda yang paling menarik perhatiannya — sebuah cermin kecil berbentuk oval, dengan bingkai perak bertuliskan bahasa kuno:
"Speculum Veritatis — Cermin Kebenaran."
“Apakah ini… Sang Cermin yang disebut ibuku?” tanya Adrian.
Ibu Kepala memejamkan mata sejenak. “Itu miliknya. Tapi berhati-hatilah, Pangeran. Barang itu telah menelan lebih banyak jiwa daripada yang bisa dihitung manusia. Dulu Elara sering memandanginya berjam-jam, dan setiap kali ia melakukannya, matanya tampak memantulkan sesuatu yang bukan dirinya.”
Adrian menatap cermin itu. Permukaannya kusam, tapi ketika ia mendekat, bayangannya tampak aneh — seolah ada dua wajah di sana: dirinya dan perempuan bermahkota yang menangis.
Tapi di hatinya, Adrian tahu itu bukan ilusi.
Sebelum ia pergi, Ibu Kepala berkata dengan suara berat, “Pangeran, jika Tuan benar-benar ingin menemukan ibumu, berhati-hatilah pada mereka yang tersenyum di istana. Lady Mircea bukan sekadar penasihat. Ia adalah benang merah yang mengikat seluruh kutukan keluarga kerajaan.”
Adrian menunduk hormat. “Terima kasih atas segalanya, Ibu. Aku akan menemukan kebenaran, meski harus menelusuri neraka.”
Saat ia keluar dari biara, hujan mulai turun deras. Ia menatap cermin itu di tangannya — dingin, berat, dan tampak seolah berdenyut pelan seperti nadi.
Di kejauhan, petir menyambar langit, memperlihatkan sekilas bayangan menara istana Eldoria.
Dan untuk pertama kalinya, Adrian merasa seolah ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik awan gelap — mata seorang perempuan yang dulu disebut permaisuri, kini hidup kembali dalam bayangannya.

Gabung dalam percakapan