Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB VII : CERMIN KEBENARAN
![]() |
| BURUNG PHOENIX |
BAB VII – CERMIN KEBENARAN
Malam turun dengan lembut di lembah timur, membawa serta kabut tipis dan aroma tanah basah. Adrian berhenti di pondok tua tempat ia beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang dari biara Saint Valeria. Api kecil menyala di perapian, menari-nari seperti roh kecil yang menolak mati.
Di atas meja kayu, tergeletak cermin oval berbingkai perak — Speculum Veritatis — peninggalan terakhir Permaisuri Elara.
Adrian duduk di kursi tua, menatap benda itu dengan perasaan campur aduk. Ia telah menempuh jalan yang panjang hanya untuk bertemu dengan lebih banyak pertanyaan. Surat ibunya, pengakuan Mortain, rahasia biara, dan kini cermin yang seolah menyimpan mata dunia lain.
Ia mengangkat cermin itu perlahan, mengamati ukiran halus di tepinya. Phoenix kecil di sisi kiri tampak terukir dengan darah kering, bukan tinta. Di bawahnya, tertulis dengan huruf latin kuno:
“Veritas lucet in tenebris.”Kebenaran bersinar dalam kegelapan.
Ia menarik napas panjang. “Kalau benar begitu,” gumamnya, “maka biarlah aku melihatnya.”
Cahaya api memantul di permukaan cermin, menciptakan gelombang aneh yang tak seharusnya ada di benda mati. Sekejap, Adrian melihat bayangan dirinya, lalu sesuatu berubah — pantulan itu bergetar, kabur, dan berganti menjadi ruang istana tua yang ia kenal.
Ia berdiri di tengah ruangan yang tampak seperti aula istana Eldoria, tapi berbeda: langit-langitnya lebih rendah, lilin-lilin meneteskan darah, dan di atas takhta duduk seorang perempuan bermahkota biru — Elara.
Namun wajahnya pucat, matanya kosong, seolah ia menatap dunia dari sisi lain kematian.
“Adrian…” bisiknya lirih, suaranya menggema dari segala arah.
“Ibu?” Adrian nyaris tak bernapas. “Apakah ini nyata?”
Elara tersenyum tipis. “Nyata dan tidak. Cermin membuka apa yang tersembunyi di antara waktu dan ingatan. Tapi berhati-hatilah — setiap kebenaran menuntut bayaran.”
“Apa maksudmu?”
Namun Elara tak menjawab. Ia menunduk, tangannya memegang perutnya yang membesar — seolah waktu kembali ke malam ia melahirkan.
“Aku bersembunyi dari dunia, Adrian. Dari cinta dan kebencian yang sama-sama ingin menghancurkanku. Tapi seseorang menemukanku… perempuan bermata perak. Ia datang membawa racun, tapi juga janji.”
“Lady Mircea,” gumam Adrian pelan.
Elara mengangguk. “Dia datang bukan untuk membunuhku, tapi untuk mengambil sesuatu dariku. Darahku. Bayiku. Dirimu.”
Adrian memandang ibunya dengan ngeri. “Apa yang dia lakukan padamu?”
“Dia menyentuh dahiku dan berkata: ‘Setiap cermin memantulkan wajah yang diinginkan, bukan yang sebenarnya.’ Sejak saat itu, dunia mengira aku mati — karena yang mereka lihat bukan aku.”
Bayangan di cermin mulai bergetar, dan suara Elara berubah menjadi gema yang menggigit.
“Dia membuat permaisuri palsu dari bayanganku. Dan bayangan itu hidup di istana, duduk di samping raja, tersenyum dengan wajahku…”
Api di perapian mendadak padam. Adrian tersentak mundur, hampir menjatuhkan cermin itu. Napasnya terengah, jantungnya berdentam keras.
“Permaisuri palsu…” bisiknya. “Jadi cerita itu benar.”
Ia menatap kembali cermin itu, tapi permukaannya kini hitam pekat seperti air danau di malam hari. Tak ada pantulan, hanya kegelapan yang tenang.
Dari luar pondok terdengar suara kuda — langkah cepat dan berisik. Adrian bergegas menyembunyikan cermin di balik mantel. Tak lama kemudian, pintu diketuk keras.
“Buka! Utusan kerajaan!” seru suara laki-laki berat.
Adrian menggigit bibir. Ia mengenali suara itu: Kapten Dorel, kepala pasukan istana.
Ia membuka pintu perlahan. “Apa urusanmu?”
Kapten Dorel berdiri dengan wajah penuh peluh dan mata mencurigakan. “Atas perintah Raja Leopold, kau harus kembali ke istana, Pangeran. Ada kabar mendesak.”
“Apa yang terjadi?”
“Mortain ditemukan tewas,” jawab Dorel pendek.
Adrian membeku. “Bagaimana…?”
“Ditusuk di ruangnya sendiri. Tidak ada tanda perlawanan. Di temboknya tertulis satu kata dengan darah: ‘Phoenix.’”
Cermin di mantel Adrian tiba-tiba bergetar halus, seolah merespon kata itu. Ia menatap Dorel, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.
“Dan kau yakin raja yang memerintahkanku pulang?” tanya Adrian perlahan. “Bukan Lady Mircea?”
Kapten Dorel mengerutkan kening. “Lady Mircea memang hadir ketika perintah itu dikeluarkan. Tapi surat resmi datang dari Raja Leopold sendiri.”
Adrian menatapnya lama. “Baiklah. Aku akan kembali.”
Perjalanan menuju istana berlangsung sepanjang malam. Hujan turun tanpa henti, membuat jalan licin dan kabur. Cermin di pelukannya terasa makin berat, seolah menariknya ke dalam pusaran masa lalu yang tak berhenti berputar.
Setibanya di gerbang Eldoria, Adrian disambut oleh keheningan aneh. Tidak ada musik istana, tidak ada penjaga yang bercakap. Semuanya terasa terlalu sunyi, seperti makam yang menunggu pengunjung terakhirnya.
Di aula utama, Raja Leopold duduk di takhta, wajahnya pucat, mata dalam lingkaran gelap. Di sisinya — Lady Mircea — anggun, tenang, dan berbahaya.
“Pangeran Adrian,” kata raja lemah. “Kau pergi tanpa izin, tapi aku memaafkannya. Kau hanya mencari ibumu, bukan?”
Adrian menunduk. “Aku mencari kebenaran, Ayahanda.”
Lady Mircea tersenyum halus. “Kebenaran adalah beban, Pangeran. Kadang lebih berat daripada mahkota.”
Adrian menatapnya tajam. “Dan kadang mahkota itu sendiri adalah kebohongan.”
Raja Leopold menghela napas, lalu memandang Mircea seolah meminta kekuatan. “Pangeran, aku tahu kau bertemu Mortain. Dia… mengaku banyak hal, bukan?”
“Dia mengatakan ibuku tidak mati. Bahwa ia menolongnya.”
Lady Mircea menegakkan tubuh, matanya berkilat. “Omong kosong. Elara mati dua puluh tahun lalu. Aku sendiri menyaksikan pemakamannya.”
Adrian mengeluarkan surat Elara dari sakunya. “Lalu bagaimana kau menjelaskan ini? Surat yang ditulis setelah kematiannya. Dan cermin ini—”
Mircea melangkah maju, matanya membulat. “Cermin itu milikku.”
Adrian menggenggamnya erat. “Tidak. Ini milik ibuku.”
“Dia memberikannya padaku!” suara Mircea meninggi, nada marah bercampur ketakutan. “Karena aku adalah darahnya!”
Mircea memejamkan mata, lalu tertawa pelan — tawa getir penuh dendam.
“Ya, Yang Mulia. Aku darahnya. Aku saudari tirinya. Anak dari cinta yang kau sembunyikan di ruang gelap istana ini.”
Adrian menatapnya ngeri. “Kau… saudari ibuku?”
Mircea menatap balik dengan mata tajam. “Dia selalu yang terindah, yang dicintai, yang disembah. Sementara aku — bayangan. Jadi aku menciptakan bayangan yang lain. Dan dunia lebih memilih mempercayai kebohongan itu daripada kebenaran.”
Raja Leopold bangkit dari takhta, wajahnya memucat. “Kau membunuhnya…”
Mircea tersenyum dingin. “Aku hanya membebaskannya dari kebohongan yang diciptakannya sendiri.”
Adrian mengangkat cermin tinggi-tinggi. “Kau ingin melihat kebenaran, Mircea? Lihatlah.”
Suara Elara bergema di ruangan itu:
"Setiap bayangan akan kembali pada sumber cahayanya."
Cermin retak — cahaya membuncah — dan semua menjadi putih.
Ketika Adrian membuka matanya, aula istana sudah hancur sebagian. Raja Leopold tergeletak tak sadarkan diri, sementara Lady Mircea berlutut di lantai, wajahnya dipenuhi retakan halus seperti kaca yang pecah dari dalam.
Di tangannya, cermin itu telah hancur — tapi phoenix perak di bingkainya masih utuh.

Gabung dalam percakapan