Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB VIII : BAYANGAN DAN DARAH

Misteri telah terungkap namun semua belum berakhir. Perjalanan Adrian masih panjang, jangan lewatkan kisah Adrian sang pewaris darah phoenix.

 

WARISAN ELDORIA

Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif

oleh Dyah Ayu Maharani


Bab Sebelumnya


BAB VIII – BAYANGAN DAN DARAH

Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat ketika Adrian melangkah keluar dari aula yang porak-poranda.
Bau asap, darah, dan lilin terbakar bercampur menjadi satu — aroma yang menandai berakhirnya kebohongan panjang dua puluh tahun lamanya.

Langit Eldoria berwarna merah muda pucat, tapi di bawahnya, dunia terasa kelabu.
Burung gagak beterbangan di atas menara runtuh, seolah menabuh ratapan untuk masa lalu yang tak akan kembali.

Di tengah puing-puing aula, dua sosok masih terbaring: Raja Leopold, yang napasnya tersengal dan wajahnya pucat seperti gading, dan Lady Mircea, yang kini hanya diam, matanya menatap kosong ke langit-langit, retakan halus di kulitnya seperti lukisan kaca retak yang masih berdarah.

Adrian berlutut di samping ayahnya.
“Yang Mulia,” suaranya serak. “Ayahanda… bertahanlah.”

Raja Leopold membuka matanya dengan susah payah. “Adrian…” suaranya lirih, nyaris seperti desahan angin. “Jangan panggil aku raja… panggil aku apa adanya. Aku hanya… manusia yang berbuat dosa.”

Adrian menahan tangis. “Kau ayahku. Itu tak akan berubah.”

Leopold tersenyum tipis, lalu terbatuk keras — darah mengalir dari sudut bibirnya, merah segar di antara janggut putihnya.
“Dosa tidak mengenal mahkota, anakku. Apa yang kulakukan padamu… pada ibumu… adalah kesalahan yang harus kau tebus dengan kebenaran.”

Ia menatap Adrian dengan mata yang mulai kehilangan cahaya, namun masih menyimpan bara kesedihan yang dalam.
“Dengar baik-baik, Adrian. Kau harus tahu semuanya — sebelum darah ini berhenti mengalir.”


Pengakuan Sang Raja

Leopold menatap ke arah jendela besar yang retak. “Aku muda waktu itu, baru naik takhta setelah perang panjang. Istana penuh dengan jebakan politik. Aku membutuhkan sekutu, bukan cinta… tapi Elara datang membawa keduanya.”

Ia tersenyum getir. “Dia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Ia membaca manusia seperti membaca kitab. Namun di balik senyumnya, ada luka yang bahkan aku tak bisa sembuhkan.”

Adrian menunduk. “Luka dari mana?”

“Dari masa kecilnya,” bisik sang raja. “Elara bukan anak tunggal. Ia punya saudari tiri — Mircea. Mereka dibesarkan di biara kerajaan, tapi Elara selalu dipilih, selalu disayangi. Mircea hanya bayangan di belakangnya. Ketika aku menikahi Elara, aku tidak tahu bahwa bayangan itu masih mengikuti.”

Ia menatap mayat Mircea yang terbujur di lantai. “Aku menemukannya beberapa tahun setelah pernikahan kami. Ia datang ke istana sebagai utusan bangsawan utara. Aku tak mengenalinya — ia telah berubah. Tapi matanya… mata itu sama seperti Elara. Aku lemah, Adrian. Aku membiarkan hatiku terbelah dua.”

Adrian terdiam. Kata-kata ayahnya jatuh seperti batu ke dasar hatinya.
“Jadi Mircea adalah kekasih Ayah juga?”

Leopold mengangguk perlahan. “Bukan cinta… hanya pelarian dari rasa bersalah. Ia memanfaatkanku, dan aku tahu itu. Tapi aku tetap memanggilnya kembali. Hingga suatu malam, Elara tahu.”

Ia menutup matanya sejenak. “Aku ingat malam itu… badai besar. Elara menatapku dengan mata yang tidak lagi lembut. Ia berkata: ‘Kau telah mencintai bayanganku, bukan aku.’ Aku mencoba menjelaskan, tapi terlambat. Ia pergi — dan esoknya, hilang.”

Leopold menatap Adrian dalam-dalam. “Aku tidak tahu ia mengandungmu. Aku pikir dia meninggalkanku selamanya. Hingga Mircea datang membawa berita bahwa Elara mati karena penyakit. Aku mempercayainya. Aku… mengizinkan pemakaman palsu itu.”

Air mata menetes di pipi tua itu. “Tapi ketika aku melihat jasad di peti — aku tahu itu bukan Elara. Tapi aku diam. Karena aku takut. Takut pada kebenaran yang akan menghancurkan kerajaan ini.”


Bayangan yang Hidup

Adrian menatap sekeliling, melihat potongan kaca cermin yang berserakan di lantai. Setiap potongan memantulkan bayangan kecil — sebagian dari wajah ibunya, sebagian dari dirinya sendiri.

“Ayah,” katanya lirih, “Elara tidak mati malam itu. Ia hidup dan melahirkan aku.”

Leopold menatapnya lama, matanya membesar. “Dia… hidup?”

Adrian mengangguk. “Ia ditolong oleh Mortain. Tapi Mircea menemukannya. Ia racuni ibuku perlahan, bukan untuk membunuh, tapi untuk membuatnya lupa — agar ia bisa menciptakan permaisuri palsu.”

Raja Leopold menutup matanya, bahunya bergetar. “Dosa di atas dosa…”

“Tapi mengapa Mircea melakukannya?” tanya Adrian. “Mengapa ia tak cukup dengan kebohongan itu?”

Leopold menatap ke arah Mircea yang terbaring. “Karena ia ingin menjadi Elara, tapi tidak bisa. Dan ketika tak bisa menjadi cahaya, ia memilih menjadi bayangannya.”

Hening turun. Hanya suara embusan angin yang masuk melalui jendela rusak.
Raja Leopold mulai kehilangan kekuatan. Adrian memegang tangannya.

“Ayahanda, jangan bicara lagi.”

Leopold tersenyum lemah. “Ada satu hal lagi… yang harus kau tahu.”

“Apa itu?”

“Darahmu,” bisik sang raja, “adalah darah phoenix. Elara… bukan perempuan biasa. Ia berasal dari garis darah kuno — keturunan penjaga cermin kebenaran. Darahnya membawa cahaya, tapi juga kutukan: siapa pun yang berbohong pada keturunan Elara akan kehilangan jiwanya perlahan.”

Adrian menatap ayahnya tak percaya. “Kutukan?”

Raja Leopold mengangguk lemah. “Dan itulah mengapa aku sekarat sekarang… bukan karena luka ini, tapi karena aku telah berbohong terlalu lama.”

Ia tersenyum samar. “Jangan takut pada kebenaran, Adrian. Takhta Eldoria telah lama berdiri di atas kebohongan. Mungkin sudah waktunya kau membakarnya agar bisa membangun yang baru.”

Tangannya terlepas pelan dari genggaman Adrian.
Raja Leopold berhenti bernapas.


Warisan Darah

Adrian tetap berlutut lama di samping jasad ayahnya.
Api lilin terakhir padam, menyisakan abu dan bayangan yang menari di dinding batu.

Di luar, lonceng istana berdentang — tanda berkabung.
Namun di hati Adrian, tak ada tangis. Hanya tekad yang lahir dari sisa-sisa kebenaran yang pahit.

Ia berdiri, memandangi Lady Mircea sekali lagi.
Wajah perempuan itu kini rapuh seperti porselen retak, tapi di baliknya masih tampak senyum samar — seolah kematian pun belum cukup untuk memadamkan dendam.

Di tangan Adrian, phoenix perak dari bingkai cermin bersinar lembut.
Simbol darah ibunya. Simbol kebenaran yang tak bisa dibunuh.

Ia berbisik, “Ibu… semuanya telah terungkap. Tapi aku tahu, ini belum berakhir.”

Dari arah jendela yang terbuka, angin dingin membawa bisikan lembut — suara perempuan yang pernah ia dengar di dalam cermin:

"Kebenaran tidak mati, anakku. Ia hanya menunggu waktu untuk terlahir kembali."


Adrian berjalan ke balkon istana. Dari sana, ia melihat rakyat Eldoria berkumpul di bawah, menatap menara yang terbakar matahari pagi.
Ia mengangkat phoenix perak tinggi-tinggi. Cahaya matahari memantul di permukaannya, menciptakan kilau seperti api yang menari di udara.

“Darah Elara tidak akan hilang,” katanya tegas. “Aku akan membersihkan nama ibuku. Dan kerajaan ini… akan tahu arti kebenaran yang sejati.”

Angin meniup jubahnya, dan untuk sesaat, ia merasa ibunya berdiri di sampingnya — tidak sebagai bayangan, tapi sebagai cahaya.

Namun jauh di bawah tanah istana, di ruang rahasia tempat para penjaga cermin dulu berkumpul, sesuatu mulai bergetar.
Retakan kecil muncul di lantai batu, dan dari celahnya mengalir cahaya merah lembut — seolah darah itu sendiri berdenyut, hidup kembali.

Dan di kegelapan terdengar suara samar, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat udara bergetar:

"Phoenix belum mati…"


Bab Selanjutnya