Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB VIII : BAYANGAN DAN DARAH
![]() |
| WARISAN ELDORIA |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
BAB VIII – BAYANGAN DAN DARAH
Di tengah puing-puing aula, dua sosok masih terbaring: Raja Leopold, yang napasnya tersengal dan wajahnya pucat seperti gading, dan Lady Mircea, yang kini hanya diam, matanya menatap kosong ke langit-langit, retakan halus di kulitnya seperti lukisan kaca retak yang masih berdarah.
Raja Leopold membuka matanya dengan susah payah. “Adrian…” suaranya lirih, nyaris seperti desahan angin. “Jangan panggil aku raja… panggil aku apa adanya. Aku hanya… manusia yang berbuat dosa.”
Adrian menahan tangis. “Kau ayahku. Itu tak akan berubah.”
Pengakuan Sang Raja
Leopold menatap ke arah jendela besar yang retak. “Aku muda waktu itu, baru naik takhta setelah perang panjang. Istana penuh dengan jebakan politik. Aku membutuhkan sekutu, bukan cinta… tapi Elara datang membawa keduanya.”
Ia tersenyum getir. “Dia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Ia membaca manusia seperti membaca kitab. Namun di balik senyumnya, ada luka yang bahkan aku tak bisa sembuhkan.”
Adrian menunduk. “Luka dari mana?”
“Dari masa kecilnya,” bisik sang raja. “Elara bukan anak tunggal. Ia punya saudari tiri — Mircea. Mereka dibesarkan di biara kerajaan, tapi Elara selalu dipilih, selalu disayangi. Mircea hanya bayangan di belakangnya. Ketika aku menikahi Elara, aku tidak tahu bahwa bayangan itu masih mengikuti.”
Ia menatap mayat Mircea yang terbujur di lantai. “Aku menemukannya beberapa tahun setelah pernikahan kami. Ia datang ke istana sebagai utusan bangsawan utara. Aku tak mengenalinya — ia telah berubah. Tapi matanya… mata itu sama seperti Elara. Aku lemah, Adrian. Aku membiarkan hatiku terbelah dua.”
Leopold mengangguk perlahan. “Bukan cinta… hanya pelarian dari rasa bersalah. Ia memanfaatkanku, dan aku tahu itu. Tapi aku tetap memanggilnya kembali. Hingga suatu malam, Elara tahu.”
Ia menutup matanya sejenak. “Aku ingat malam itu… badai besar. Elara menatapku dengan mata yang tidak lagi lembut. Ia berkata: ‘Kau telah mencintai bayanganku, bukan aku.’ Aku mencoba menjelaskan, tapi terlambat. Ia pergi — dan esoknya, hilang.”
Leopold menatap Adrian dalam-dalam. “Aku tidak tahu ia mengandungmu. Aku pikir dia meninggalkanku selamanya. Hingga Mircea datang membawa berita bahwa Elara mati karena penyakit. Aku mempercayainya. Aku… mengizinkan pemakaman palsu itu.”
Air mata menetes di pipi tua itu. “Tapi ketika aku melihat jasad di peti — aku tahu itu bukan Elara. Tapi aku diam. Karena aku takut. Takut pada kebenaran yang akan menghancurkan kerajaan ini.”
Bayangan yang Hidup
Adrian menatap sekeliling, melihat potongan kaca cermin yang berserakan di lantai. Setiap potongan memantulkan bayangan kecil — sebagian dari wajah ibunya, sebagian dari dirinya sendiri.
“Ayah,” katanya lirih, “Elara tidak mati malam itu. Ia hidup dan melahirkan aku.”
Leopold menatapnya lama, matanya membesar. “Dia… hidup?”
Adrian mengangguk. “Ia ditolong oleh Mortain. Tapi Mircea menemukannya. Ia racuni ibuku perlahan, bukan untuk membunuh, tapi untuk membuatnya lupa — agar ia bisa menciptakan permaisuri palsu.”
Raja Leopold menutup matanya, bahunya bergetar. “Dosa di atas dosa…”
“Tapi mengapa Mircea melakukannya?” tanya Adrian. “Mengapa ia tak cukup dengan kebohongan itu?”
Leopold menatap ke arah Mircea yang terbaring. “Karena ia ingin menjadi Elara, tapi tidak bisa. Dan ketika tak bisa menjadi cahaya, ia memilih menjadi bayangannya.”
“Ayahanda, jangan bicara lagi.”
Leopold tersenyum lemah. “Ada satu hal lagi… yang harus kau tahu.”
“Apa itu?”
“Darahmu,” bisik sang raja, “adalah darah phoenix. Elara… bukan perempuan biasa. Ia berasal dari garis darah kuno — keturunan penjaga cermin kebenaran. Darahnya membawa cahaya, tapi juga kutukan: siapa pun yang berbohong pada keturunan Elara akan kehilangan jiwanya perlahan.”
Adrian menatap ayahnya tak percaya. “Kutukan?”
Raja Leopold mengangguk lemah. “Dan itulah mengapa aku sekarat sekarang… bukan karena luka ini, tapi karena aku telah berbohong terlalu lama.”
Ia tersenyum samar. “Jangan takut pada kebenaran, Adrian. Takhta Eldoria telah lama berdiri di atas kebohongan. Mungkin sudah waktunya kau membakarnya agar bisa membangun yang baru.”
Warisan Darah
Ia berbisik, “Ibu… semuanya telah terungkap. Tapi aku tahu, ini belum berakhir.”
Dari arah jendela yang terbuka, angin dingin membawa bisikan lembut — suara perempuan yang pernah ia dengar di dalam cermin:
"Kebenaran tidak mati, anakku. Ia hanya menunggu waktu untuk terlahir kembali."
“Darah Elara tidak akan hilang,” katanya tegas. “Aku akan membersihkan nama ibuku. Dan kerajaan ini… akan tahu arti kebenaran yang sejati.”
Angin meniup jubahnya, dan untuk sesaat, ia merasa ibunya berdiri di sampingnya — tidak sebagai bayangan, tapi sebagai cahaya.
Dan di kegelapan terdengar suara samar, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat udara bergetar:
"Phoenix belum mati…"

Gabung dalam percakapan