ELARA OF THE PHOENIX BLOODLINE. Nama itu bukan sekedar nama dari ibu Adrian. Temukan jawabnnya disini kisah Adrian penuh misteri dan plot wist.
 |
| CERMIN DARAH PHOENIX |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
Bab Sebelumnya
BAB IX – DENYUT DARI BAWAH TANAH
Malam kembali menurunkan selubungnya di atas istana Eldoria, kini sunyi seperti kuburan.
Hanya lilin-lilin kecil yang tersisa, menyala redup di sepanjang koridor batu. Bayangan mereka bergoyang di dinding, menyerupai tangan-tangan roh yang mencari sesuatu yang hilang.
Adrian berjalan pelan menuruni tangga spiral yang mengarah ke ruang bawah tanah istana. Di tangannya, phoenix perak dari bingkai cermin memancarkan cahaya samar — seolah benda itu hidup, menuntunnya ke arah tertentu.
Langkahnya berhenti di depan pintu besi besar yang tertutup rapat oleh jaring laba-laba dan lumut tebal. Pintu itu tak pernah dibuka selama puluhan tahun — bahkan catatan istana pun tak menyebut keberadaannya.
Namun di tengah pintu itu, terukir simbol yang sama dengan phoenix di tangannya.
Ia menatapnya lama, lalu menekan phoenix perak itu ke permukaan logam.
Sekejap, udara di sekelilingnya bergetar.
Simbol itu menyala merah, lalu terdengar suara desis seperti napas panjang. Engsel tua berderit, dan pintu raksasa itu perlahan terbuka — menyingkap lorong gelap berisi udara lembap dan aroma tanah purba.
Adrian menyalakan obor.
Cahaya kuning menari di dinding yang dipenuhi ukiran. Ada gambar perempuan bersayap api, matahari yang terbelah dua, dan manusia berlutut di hadapan cermin.
Ia melangkah masuk.
Lorong itu panjang, lebih dalam dari yang ia kira.
Dinding batu semakin lembap, dan lantainya menurun tajam. Di kejauhan terdengar suara gemuruh pelan — seperti denyut jantung raksasa yang tertanam di perut bumi.
Ketika ia tiba di ruang terbuka di ujung lorong, Adrian terpaku.
Ruang itu luas, berbentuk lingkaran, dengan kolam kecil di tengahnya.
Namun airnya bukan air biasa — warnanya merah tua, berpendar lembut seperti darah yang bercahaya.
Di sekeliling kolam, berdiri enam patung batu — semuanya perempuan, memegang cermin di tangan kiri dan obor di tangan kanan.
Di bawah setiap patung tertulis nama-nama kuno, dan salah satunya membuat dada Adrian bergetar:
ELARA OF THE PHOENIX BLOODLINE
Ia melangkah mendekat, lututnya hampir lemas.
Nama itu bukan sekadar ibunya — melainkan satu dari tujuh penjaga darah Phoenix.
“Jadi ini…” gumamnya lirih, “...makam para penjaga?”
Suara lain menjawab dari kegelapan:
“Bukan makam. Mereka tidak mati — hanya tertidur.”
Adrian menoleh cepat. Dari balik bayangan, muncul seorang pria tua dengan jubah hitam panjang, matanya tajam berkilau seperti batu obsidian.
“Siapa kau?” tanya Adrian, memegang gagang pedangnya.
Pria itu membungkuk sedikit. “Namaku Ardan, penjaga terakhir Garis Darah Phoenix. Aku menunggumu, Pangeran Adrian.”
Rahasia Leluhur
Ardan berjalan mendekat, langkahnya ringan meski usianya tampak sangat tua.
Ia menatap kolam merah di tengah ruangan. “Darah itu mengalir sejak zaman sebelum kerajaan berdiri. Itu bukan darah manusia, melainkan esensi dari perjanjian lama antara cahaya dan kegelapan.”
Adrian mengernyit. “Aku tak mengerti.”
Ardan tersenyum samar. “Kau tak perlu mengerti semuanya sekaligus. Cukup tahu bahwa ibumu, Elara, adalah keturunan langsung dari Perempuan Api — makhluk pertama yang memegang cermin kebenaran. Ia berjanji menjaga keseimbangan antara kebohongan dan cahaya. Tapi janji itu terputus ketika manusia mulai menggunakan kebenaran untuk berkuasa.”
Ia menatap Adrian dalam-dalam. “Dan kini, darah itu mengalir dalam dirimu.”
Adrian menatap air merah yang berdenyut lembut. “Jadi ini yang disebut kutukan?”
“Bukan kutukan,” jawab Ardan, “tapi beban. Siapa pun yang membawa darah Phoenix akan selalu melihat kebenaran — bahkan ketika dunia memilih kebohongan. Dan kebenaran itu… bisa membakar siapa saja.”
Ardan mendekati salah satu patung, yang tampak seperti Elara muda. Ia menyentuh permukaannya dengan lembut.
“Ketika ibumu tahu bahwa darahnya sedang hamil, ia memohon agar kekuatan itu tidak turun padamu. Ia takut. Maka ia menaruh sebagian jiwanya di dalam cermin — berharap kau tumbuh sebagai manusia biasa.”
Adrian mengingat cermin itu, retaknya, dan cahaya Elara yang keluar darinya.
“Jadi itulah mengapa bayangannya tetap hidup…”
Ardan mengangguk. “Tapi sekarang, ketika cermin hancur, jiwanya telah bebas. Dan darah Phoenix dalam dirimu terbangun sepenuhnya.”
Denyut Bawah Tanah
Kolam di tengah ruangan bergetar pelan, memantulkan cahaya merah yang makin kuat.
Ardan menatapnya, lalu berbisik, “Dia sudah bangun.”
“Siapa?” tanya Adrian.
“Cahaya dari bawah tanah — inti dari darah Phoenix. Ia memanggil pewarisnya.”
Seketika, cahaya merah itu berubah menjadi pusaran api kecil di atas air. Bentuknya menyerupai burung dengan sayap menyala, tapi matanya kosong.
Suara lembut terdengar, seperti bisikan ibu dari jauh:
"Adrian…"
Adrian tertegun. “Ibu?”
Ardan menunduk hormat. “Itulah gema terakhir dari jiwa Elara. Ia muncul hanya untuk menunjukkan jalan.”
Api berbentuk burung itu berputar di udara, lalu terbang ke arah dinding batu di sisi ruangan, membakar sebagian ukiran hingga muncul pintu tersembunyi di baliknya.
Api itu berhenti, berputar sekali lagi, lalu menghilang.
Ardan menatap Adrian. “Itulah pintu menuju Kamar Cermin Pertama. Hanya pewaris darah yang bisa membukanya.”
Adrian melangkah mendekat, menekan tangannya ke batu hangat itu. Seketika, pintu terbuka, mengeluarkan cahaya putih yang menyilaukan.
Di dalamnya, ruangan kecil dengan satu cermin besar berdiri tegak, utuh — berbeda dari semua yang pernah ia lihat.
Permukaannya berkilau seperti perak cair.
Namun bukan bayangan Adrian yang tampak di sana, melainkan Elara, tersenyum lembut, dengan wajah penuh cahaya.
Pesan dari Cermin
“Adrian,” suara itu lembut, seperti embun di pagi hari. “Jika kau melihat ini, berarti kau telah menemukan jalan yang benar. Darah kita tak bisa dipisahkan dari kebenaran.”
Adrian menahan air mata. “Ibu… mengapa semua ini harus terjadi?”
Elara dalam cermin menatapnya dengan mata sedih. “Karena kebenaran adalah harga dari cinta, anakku. Aku mencintai ayahmu, tapi cinta itu lahir di dunia kebohongan. Maka takdir menuntut balasannya.”
Ia meletakkan tangan di permukaan cermin. “Sekarang giliranmu menebusnya. Jangan gunakan darahmu untuk membalas, gunakan untuk menyinari. Karena setiap kali kebenaran dibungkam, bayangan baru lahir. Jangan biarkan itu terjadi lagi.”
Ardan berdiri di belakang Adrian, matanya berkaca-kaca. “Itulah pesan terakhir para penjaga.”
Adrian menatap ibunya untuk terakhir kali. “Aku berjanji, Ibu. Aku akan melindungi kebenaran, meski harus melawan istanaku sendiri.”
Cahaya di cermin memudar perlahan. Wajah Elara tersenyum sebelum lenyap sepenuhnya.
Ruangan itu menjadi hening, tapi udara di sekitarnya terasa lebih ringan — seolah rahasia besar baru saja dihembuskan keluar dari perut bumi.
Bangkitnya Warisan
Ardan memegang bahu Adrian. “Sekarang kau tahu, Adrian. Kebenaran bukan sekadar kata — ia adalah api. Dan api ini akan mencari tempatnya sendiri, entah dalam terang atau dalam darah.”
Adrian menatap kolam merah yang kini berubah jernih, seolah darahnya telah tersucikan.
“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” katanya lirih. “Kerajaan ini dibangun di atas kebohongan. Maka aku akan menghancurkannya, dan membangunnya kembali dengan cahaya.”
Ardan tersenyum. “Maka darah Phoenix telah memilih dengan benar.”
Ia menunduk hormat, lalu perlahan menghilang ke dalam bayangan lorong — seolah menjadi bagian dari kegelapan yang menjaga tempat itu sejak dahulu.
Adrian berdiri sendiri di ruang bawah tanah, obor di tangannya mulai padam. Namun dari dadanya, sinar merah lembut muncul — cahaya yang sama dengan kolam tadi, berdenyut perlahan seperti jantung.
Ia menatap ke atas, menatap langit-langit batu yang terasa jauh, dan berbisik:
"Waktunya sudah tiba, Eldoria. Bayangan akan terbakar oleh darahku."
1 komentar