Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB II : Surat dari Masa Silam

Kotak berisi tumpukan surat dari masa silam. Misteri kian berlanjut, Adrian membuka lembaran pertama dari rahasia yang dikubur bertahun - tahun.
novel misteri

Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif

oleh Dyah Ayu Maharani



BAB II — Surat dari Masa Silam

Hujan belum juga berhenti saat fajar menyingsing di atas Eldoria. Kabut tipis bergelayut di lembah, mengaburkan bentuk menara istana yang tinggi. Dari kejauhan, lonceng biara tua berdentang enam kali, gema suaranya menembus kabut pagi.

Adrian berjalan cepat di jalan berbatu yang basah, mantel hitamnya meneteskan air. Di genggamannya, kertas kecil pemberian wanita bernama Lisbeth itu mulai lembap, huruf-huruf tinta hampir luntur: “Menara Utara. Burung Phoenix.”

Ia tak tahu apa maksudnya, tapi ia tahu harus segera menemukan wanita itu.
Di ujung jalan, tampak bangunan batu kelabu yang separuh runtuh — Biara St. Helene Lama, tempat para biarawati tua tinggal menyepi. Konon, biara itu dulu merupakan bagian dari istana, sebelum terbakar puluhan tahun lalu.

Pintu kayunya berat dan berderit saat Adrian mendorongnya. Aroma dupa dan jamur lembap memenuhi udara. Seorang biarawati muda muncul dari balik pilar, menatapnya curiga.

“Aku mencari Ibu Lisbeth,” kata Adrian cepat.
Biarawati itu menunduk sedih. “Jika Anda datang semalam, mungkin masih sempat. Ibu Lisbeth meninggal dini hari tadi.”

Jantung Adrian berdegup keras. “Meninggal?”
“Ya. Ia meminta kami menyerahkan ini kepada seseorang bernama Adrian, jika dia datang.”

Biarawati itu memberikan sebuah kotak kayu kecil berukir lambang burung phoenix. Ukiran itu sama persis dengan medali yang Adrian temukan di makam Elara.

Ia menunduk hormat, lalu membawa kotak itu ke altar kosong di sisi biara. Di sana, di bawah cahaya lilin, ia membuka penutupnya perlahan. Di dalamnya terdapat tumpukan surat tua, terikat dengan pita biru yang sudah rapuh.

Tangan Adrian gemetar saat membuka lembar pertama.


Surat I

Tertanggal 3 Desember, Tahun 1372

Untuk siapa pun yang menemukan surat ini, ketahuilah bahwa aku, Lisbeth — pelayan istana — menulisnya dengan darah dan air mata.

Pada malam ketika badai menghantam Eldoria, sang permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki di kamar tersembunyi di menara utara. Tidak ada tabib kerajaan yang diizinkan hadir, hanya aku dan bidan tua yang kini sudah meninggal.

Bayi itu menangis kuat, seolah menolak dunia tempat ia dilahirkan. Sang permaisuri menatapku, lemah tapi tersenyum, dan berkata: “Jangan biarkan dia tahu siapa dirinya sampai waktunya tiba.”

Keesokan paginya, istana penuh kegemparan. Raja memerintahkan agar permaisuri ‘diisolasi’ karena sakit misterius. Tapi aku tahu itu bukan penyakit — itu ketakutan. Sesuatu telah diketahui oleh seseorang yang seharusnya tidak tahu.

Jika aku tak sempat hidup cukup lama untuk menceritakan kebenaran ini, maka surat-surat ini adalah saksinya.


Adrian berhenti membaca. Tangannya gemetar.
“Bayi laki-laki… menara utara…” gumamnya.

Ia membuka surat berikutnya dengan cepat.


Surat II

Tertanggal 7 Desember, Tahun 1372

Tadi malam, suara langkah-langkah terdengar di koridor menara. Aku bersembunyi di balik tirai dan melihat dua pria berpakaian hitam memasuki kamar permaisuri. Salah satunya adalah Lord Mortain, penasihat istana.

Ia membawa botol kecil berisi cairan bening. Aku mendengar katanya: ‘Untuk kebaikan kerajaan.’

Tapi pagi harinya, aku mendapati permaisuri masih hidup — lemah, tapi hidup. Ia memaksaku mengambil bayi itu dan melarikan diri sebelum senja.

Aku berhasil meloloskan bayi itu lewat gerbang utara dengan bantuan seorang biarawati. Kami berjanji akan menyembunyikannya di biara ini sampai aman.


Adrian terdiam. Ruang biara tiba-tiba terasa sempit.
Semuanya… seolah berbunyi di dalam kepalanya.
“Kami berjanji akan menyembunyikannya di biara ini.”

Ia menatap ke sekeliling altar — batu, debu, dan lilin.
Tempat ini… tempat ia dibesarkan.
Ia dibawa ke biara St. Helene saat masih bayi. Tak seorang pun tahu siapa orang tuanya.
“Apakah mungkin…?” napasnya tercekat.

Ia membuka surat terakhir dalam bundel itu, yang lebih pendek dari yang lain.


Surat III

Tertanggal 10 Desember, Tahun 1372

Jika suatu hari bayi itu kembali mencari kebenaran, tunjukkan padanya lambang phoenix.

Di bawah kaki patung permaisuri, di taman istana bagian timur, terkubur buku harian yang menyimpan seluruh kisah. Tapi berhati-hatilah.

Bayangan lama masih hidup.
Dan ia selalu mengintai dari balik mahkota.


Lilin di altar berkedip. Angin dari jendela membuat nyalanya bergetar.
Adrian menatap surat itu lama, lalu menatap medali di tangannya.
Phoenix… patung permaisuri… taman timur…

Suara langkah-langkah tiba-tiba terdengar di luar biara.
Cepat, teratur, dan berat.

Ia memadamkan lilin, menyembunyikan surat-surat itu ke dalam mantelnya. Saat pintu biara terbuka, sekelompok penjaga istana masuk dengan obor menyala.
“Cari di seluruh tempat ini!” bentak salah satu.
Adrian berlari ke arah belakang biara, menembus lorong sempit yang menuju ruang bawah tanah.

Di sana, hanya ada kegelapan dan aroma tanah basah. Ia meraba dinding, mencari jalan keluar lain. Di salah satu sisi, jari-jarinya menyentuh batu yang menonjol. Ketika ia menekannya, dinding itu bergetar — lalu terbuka sedikit.
Sebuah lorong rahasia.

Ia masuk tanpa ragu. Dinding menutup di belakangnya, menyisakan keheningan mutlak.

Lorong itu panjang dan sempit, dindingnya dipenuhi ukiran simbol phoenix dan huruf-huruf kuno. Lentera kecil di tangannya hampir padam, tapi di ujung lorong ia melihat cahaya samar. Ia mendekat, dan mendapati dirinya keluar di balik reruntuhan taman kerajaan — di sisi timur istana Eldoria.

Di depan matanya berdiri patung batu permaisuri: tinggi, agung, dan dingin. Di tangannya yang diukir halus, seekor burung phoenix bertengger. Wajah patung itu… anehnya, tampak mirip dengan wajah yang selama ini ia lihat di cermin.

Adrian berlutut di hadapan patung itu, menggali tanah di bawah kakinya dengan tangan kosong. Tanah lembap, keras, dan dingin. Setelah beberapa menit, jarinya menyentuh sesuatu — kotak besi kecil yang terkunci.

Ia membersihkan debu dari permukaannya. Di atas kotak itu tertulis:

"Untuk darahku yang akan menuntun kebenaran."

Kunci besi tua dari makam permaisuri tampak cocok di lubang kunci itu. Ia memutarnya perlahan, dan dengan suara lembut, kotak itu terbuka.

Di dalamnya terbaring buku harian berlapis kulit biru, ujung halamannya menguning dimakan usia.
Adrian menatapnya lama, lalu membuka halaman pertama.

Tulisan tangan yang elegan menyapanya:

"Hari ini aku menulis bukan sebagai permaisuri Eldoria, melainkan sebagai perempuan yang mencintai dan takut dalam waktu yang sama. Jika aku tak kembali, biarlah tulisan ini menjadi suaraku yang terakhir…"

Nama di bawah tulisan itu terbaca jelas:
Elara von Vessen.

Suara lonceng istana berdentang dari kejauhan, menggema di antara pepohonan taman.
Adrian menatap buku harian itu, sadar bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.
Ia baru saja membuka lembar pertama dari rahasia yang telah dikubur selama lebih dari dua puluh tahun — rahasia tentang cinta, pengkhianatan, dan kematian yang tak semestinya.

Namun jauh di atas menara istana, seseorang mengamati dari balik tirai.
Lord Mortain memegang laporan di tangannya: “Subjek ditemukan di taman timur, membawa benda tak dikenal.”
Ia tersenyum tipis.

“Jadi akhirnya kau menemukannya juga, anak kecil,” gumamnya pelan.
“Sepertinya darah itu tak bisa berbohong.”