Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB II : Surat dari Masa Silam
![]() |
| novel misteri |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
BAB II — Surat dari Masa Silam
Hujan belum juga berhenti saat fajar menyingsing di atas Eldoria. Kabut tipis bergelayut di lembah, mengaburkan bentuk menara istana yang tinggi. Dari kejauhan, lonceng biara tua berdentang enam kali, gema suaranya menembus kabut pagi.
Adrian berjalan cepat di jalan berbatu yang basah, mantel hitamnya meneteskan air. Di genggamannya, kertas kecil pemberian wanita bernama Lisbeth itu mulai lembap, huruf-huruf tinta hampir luntur: “Menara Utara. Burung Phoenix.”
Pintu kayunya berat dan berderit saat Adrian mendorongnya. Aroma dupa dan jamur lembap memenuhi udara. Seorang biarawati muda muncul dari balik pilar, menatapnya curiga.
Biarawati itu memberikan sebuah kotak kayu kecil berukir lambang burung phoenix. Ukiran itu sama persis dengan medali yang Adrian temukan di makam Elara.
Ia menunduk hormat, lalu membawa kotak itu ke altar kosong di sisi biara. Di sana, di bawah cahaya lilin, ia membuka penutupnya perlahan. Di dalamnya terdapat tumpukan surat tua, terikat dengan pita biru yang sudah rapuh.
Tangan Adrian gemetar saat membuka lembar pertama.
Surat I
Tertanggal 3 Desember, Tahun 1372
Untuk siapa pun yang menemukan surat ini, ketahuilah bahwa aku, Lisbeth — pelayan istana — menulisnya dengan darah dan air mata.
Pada malam ketika badai menghantam Eldoria, sang permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki di kamar tersembunyi di menara utara. Tidak ada tabib kerajaan yang diizinkan hadir, hanya aku dan bidan tua yang kini sudah meninggal.
Bayi itu menangis kuat, seolah menolak dunia tempat ia dilahirkan. Sang permaisuri menatapku, lemah tapi tersenyum, dan berkata: “Jangan biarkan dia tahu siapa dirinya sampai waktunya tiba.”
Keesokan paginya, istana penuh kegemparan. Raja memerintahkan agar permaisuri ‘diisolasi’ karena sakit misterius. Tapi aku tahu itu bukan penyakit — itu ketakutan. Sesuatu telah diketahui oleh seseorang yang seharusnya tidak tahu.
Jika aku tak sempat hidup cukup lama untuk menceritakan kebenaran ini, maka surat-surat ini adalah saksinya.
Ia membuka surat berikutnya dengan cepat.
Surat II
Tertanggal 7 Desember, Tahun 1372
Tadi malam, suara langkah-langkah terdengar di koridor menara. Aku bersembunyi di balik tirai dan melihat dua pria berpakaian hitam memasuki kamar permaisuri. Salah satunya adalah Lord Mortain, penasihat istana.
Ia membawa botol kecil berisi cairan bening. Aku mendengar katanya: ‘Untuk kebaikan kerajaan.’
Tapi pagi harinya, aku mendapati permaisuri masih hidup — lemah, tapi hidup. Ia memaksaku mengambil bayi itu dan melarikan diri sebelum senja.
Aku berhasil meloloskan bayi itu lewat gerbang utara dengan bantuan seorang biarawati. Kami berjanji akan menyembunyikannya di biara ini sampai aman.
Ia membuka surat terakhir dalam bundel itu, yang lebih pendek dari yang lain.
Surat III
Tertanggal 10 Desember, Tahun 1372
Jika suatu hari bayi itu kembali mencari kebenaran, tunjukkan padanya lambang phoenix.
Di bawah kaki patung permaisuri, di taman istana bagian timur, terkubur buku harian yang menyimpan seluruh kisah. Tapi berhati-hatilah.
Bayangan lama masih hidup.Dan ia selalu mengintai dari balik mahkota.
Ia masuk tanpa ragu. Dinding menutup di belakangnya, menyisakan keheningan mutlak.
Lorong itu panjang dan sempit, dindingnya dipenuhi ukiran simbol phoenix dan huruf-huruf kuno. Lentera kecil di tangannya hampir padam, tapi di ujung lorong ia melihat cahaya samar. Ia mendekat, dan mendapati dirinya keluar di balik reruntuhan taman kerajaan — di sisi timur istana Eldoria.
Di depan matanya berdiri patung batu permaisuri: tinggi, agung, dan dingin. Di tangannya yang diukir halus, seekor burung phoenix bertengger. Wajah patung itu… anehnya, tampak mirip dengan wajah yang selama ini ia lihat di cermin.
Adrian berlutut di hadapan patung itu, menggali tanah di bawah kakinya dengan tangan kosong. Tanah lembap, keras, dan dingin. Setelah beberapa menit, jarinya menyentuh sesuatu — kotak besi kecil yang terkunci.
Ia membersihkan debu dari permukaannya. Di atas kotak itu tertulis:
"Untuk darahku yang akan menuntun kebenaran."
Kunci besi tua dari makam permaisuri tampak cocok di lubang kunci itu. Ia memutarnya perlahan, dan dengan suara lembut, kotak itu terbuka.
Tulisan tangan yang elegan menyapanya:
"Hari ini aku menulis bukan sebagai permaisuri Eldoria, melainkan sebagai perempuan yang mencintai dan takut dalam waktu yang sama. Jika aku tak kembali, biarlah tulisan ini menjadi suaraku yang terakhir…"

Gabung dalam percakapan