Bayangan di menara utara Kerajaan Eldoeria. Nama di selembar catatan kecil "Mortain", siapakah dia dan apa yang telah ia lakukan.
 |
| Cermin darah phoenix |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
Bab Sebelumnya
BAB III — Bayangan di Menara Utara
Langit Eldoria sore itu berwarna tembaga. Sisa hujan masih menetes dari atap-atap batu, menimbulkan bunyi lembut seperti bisikan di udara. Adrian duduk di ruang sempit bawah tanah biara, di mana hanya ada lentera kecil, tumpukan surat, dan buku harian tua yang kini tergeletak di hadapannya.
Buku itu berlapis kulit biru pudar, di ujungnya terdapat ukiran burung phoenix yang hampir hilang termakan waktu.
Ia menarik napas dalam, lalu membuka halaman pertama dengan hati-hati.
Tulisan tangan di halaman itu anggun, halus, dan sedikit miring ke kanan.
Kata-kata yang tertera seperti berbisik dari masa lalu.
“Hari ke-1 bulan Desember, Tahun 1372”
Hari ini salju pertama turun di Eldoria. Dari jendela kamarku di menara utara, dunia tampak putih dan sunyi. Seandainya hati manusia semurni salju, mungkin takkan ada kebohongan yang menodainya.
Aku menulis di sini karena tak ada lagi yang bisa kupercaya di istana. Dinding-dinding ini punya telinga, lantai-lantai ini punya mata. Bahkan bisikan doa terasa diawasi.
Leopold — suamiku, rajaku — semakin jauh dari sosok yang dulu kucintai. Kekuasaan telah mengubah matanya menjadi baja. Ia memandangku bukan lagi sebagai istrinya, melainkan simbol yang harus dijaga, dikontrol, dikurung.
Namun di tengah kesepian itu, aku menemukan satu hal yang tak dapat ia miliki: kehidupan kecil yang kini tumbuh di dalam diriku.”
Adrian berhenti membaca sejenak.
Kata-kata itu… terasa nyata. Ia bisa membayangkan seorang perempuan muda duduk di jendela menara, menulis dengan tangan gemetar, mencoba menyembunyikan rahasia di tengah dunia yang menuduhnya.
Ia melanjutkan halaman berikutnya.
“Hari ke-5 bulan Desember”
Aku mulai merasakan gerakan kecil di rahimku. Ia hidup — darahku, nadiku. Tapi bersamanya lahir pula ketakutan yang besar.
Jika Leopold tahu, ia akan bertanya: ‘Siapa ayahnya?’
Dan aku tak punya jawaban yang bisa menyelamatkanku.
Semua orang di istana memperhatikan. Lord Mortain datang lebih sering, membawa ramuan yang katanya untuk menenangkan sarafku. Tapi aku tahu, di balik senyumannya, ada niat lain.
Semalam, aku mendengar dia berbicara di koridor dengan salah satu penasihat raja. ‘Jika ia benar-benar hamil, maka garis darah bisa berubah,’ katanya. ‘Kita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.’
Aku menyembunyikan surat ini di bawah batu lantai, di tempat yang hanya Lisbeth tahu.”
Adrian menatap dinding di sekelilingnya. Ia sadar — tempat ia duduk sekarang adalah ruang bawah tanah biara, bagian dari reruntuhan lama menara utara. Mungkin… tempat itu dulunya tempat yang sama dengan kamar Elara menulis surat-suratnya.
Ia menutup buku sejenak.
“Lord Mortain…” gumamnya.
Nama itu kini muncul berulang kali, baik di surat Lisbeth maupun di buku harian.
Jika Elara takut padanya, mengapa Mortain kini menjadi orang paling berkuasa di istana?
Angin dingin berhembus lewat celah dinding, membuat lentera berkedip. Adrian membalik halaman lagi.
“Hari ke-8 bulan Desember”
Lisbeth semakin gelisah. Ia mendengar bisikan bahwa raja akan mengirimku ke biara dengan alasan penyakit. Tapi aku tahu, itu hanyalah dalih untuk menghapusku dari istana tanpa perlawanan.
Aku tidak bisa pergi. Anak ini harus lahir di sini.
Tadi malam, seseorang datang ke kamarku — Alaric, komandan pengawal istana. Ia menunduk dalam, hampir tak berani menatap. Ia berkata, ‘Yang Mulia, hidup Anda dalam bahaya. Lord Mortain telah memerintahkan seseorang mengawasi Anda setiap saat.’
Aku bertanya, mengapa ia peduli. Ia menjawab, ‘Karena kebenaran adalah hal terakhir yang tersisa bagi Eldoria.’
Aku menangis malam itu, bukan karena takut, tapi karena akhirnya ada seseorang yang melihatku bukan sebagai permaisuri, melainkan manusia.”
Nama Alaric bergetar di kepala Adrian. Ia merasa nama itu seperti potongan lagu yang samar-samar diingat.
Ia melanjutkan membaca, hingga halaman berikutnya yang lebih suram.
“Hari ke-10 bulan Desember”
Hari ini aku mendengar kabar bahwa istana bersiap untuk perayaan musim dingin. Semua orang tertawa, menari, makan, minum, sementara aku duduk di sini — di menara, seperti burung yang kehilangan sayap.
Aku mencoba menulis surat kepada raja, memohon agar ia mendengarkan. Tapi Lisbeth berkata tidak perlu. Ia tahu, surat itu tidak akan sampai.
Aku merasa waktu semakin sedikit.
Bila sesuatu terjadi padaku, aku ingin anakku tahu satu hal: aku mencintainya. Ia bukan anak dari dosa, meski dunia akan berkata demikian.”
Adrian menutup buku itu perlahan.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Semua yang ia baca terasa seperti gema dari dalam dirinya sendiri — seolah setiap kalimat itu telah lama tertulis dalam darahnya.
Ia berdiri, menatap ke arah reruntuhan menara yang tampak dari celah jendela bawah tanah.
Bayangan hitam menjulang di antara kabut, menyerupai tangan raksasa yang menuding langit.
“Menara utara…” gumamnya. “Tempat semuanya dimulai.”
Ketika malam turun, Adrian meninggalkan biara. Ia berjalan mengikuti jalan sempit yang menuju hutan utara — ke arah menara yang sudah lama ditinggalkan.
Udara dingin menggigit kulit, namun rasa ingin tahunya jauh lebih kuat dari rasa takut.
Menara itu berdiri di puncak bukit batu, setengah runtuh, tertutup lumut dan sulur ivy. Dari kejauhan tampak seperti tulang raksasa yang ditinggalkan waktu.
Adrian mendorong pintu kayu tuanya yang berat. Engselnya berderit panjang, menggema di ruang kosong.
Di dalam, hanya ada bayangan, debu, dan sisa furnitur yang membusuk.
Namun di tengah ruangan, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya terhenti: tempat tidur berkanopi yang rusak, dan di atasnya masih tergeletak selendang sutra biru pucat — warna yang sama dengan kain yang ia temukan di makam kosong itu.
Ia menyentuhnya perlahan. Kain itu rapuh, tapi masih harum samar — seperti bunga mawar dan tinta.
Tiba-tiba sesuatu di bawah lantai berderak. Ia menunduk, dan menemukan papan kayu yang longgar.
Dengan hati-hati ia mencongkelnya. Di bawah papan itu terdapat sebuah kotak kecil yang dibungkus kain hitam.
Ia membuka kain itu — di dalamnya ada botol kaca bening berisi cairan kekuningan.
Labelnya nyaris hilang, tapi masih bisa dibaca sebagian: “Tinctura Somnifera”.
Racun tidur yang kuat.
Di samping botol itu, ada selembar catatan kecil. Tulisan di atasnya tegas, bukan tulisan perempuan.
"Untuk kebaikan kerajaan."
Tinta itu masih hitam, belum benar-benar pudar — seolah baru ditulis beberapa tahun lalu.
Dan di bawah tanda tangan itu tertera satu nama:
Mortain.
Adrian memegang catatan itu erat.
Tangan dan dadanya bergetar bersamaan. Kini semuanya mulai jelas — tapi juga semakin gelap.
Lord Mortain memang berperan dalam kematian permaisuri, namun alasan di baliknya masih tersembunyi. Apakah ia bertindak atas perintah raja? Atau ada rahasia yang lebih kelam?
Suara langkah tiba-tiba terdengar di luar menara.
Cepat, berat, dan ritmis.
Adrian memadamkan lentera, bersembunyi di balik tiang batu.
Pintu menara terbuka dengan suara keras, dan seberkas cahaya obor masuk.
“Periksa seluruh ruangan!” seru suara berat yang sangat dikenalnya — suara Mortain.
Adrian menahan napas.
Di antara bayangan dan cahaya obor, wajah Mortain tampak lebih tua, tapi matanya tajam, seperti mata seekor elang yang menemukan mangsa.
Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan, menatap sekeliling, lalu berhenti di dekat tempat tidur.
Tangannya menyentuh selendang sutra biru itu, lalu ia berbisik, “Masih di sini rupanya, Elara…”
Adrian menutup mulutnya agar tak bersuara.
Mortain berdiri diam cukup lama, lalu berkata pelan namun jelas, seolah berbicara kepada roh yang tidak terlihat:
"Maafkan aku. Semua yang kulakukan… adalah untuk melindungi darahmu."
Lalu ia meninggalkan menara.
Adrian berdiri terpaku dalam kegelapan, jantungnya berdentum keras.
Melindungi darahmu?
Apa maksudnya?
Ia menatap buku harian dan catatan racun di tangannya.
Misteri itu kini semakin dalam, dan kebenaran terasa semakin jauh dari jangkauan.
Namun satu hal ia tahu pasti:
Segalanya dimulai — dan mungkin akan berakhir — di menara utara ini.
Bab Selanjutnya
Gabung dalam percakapan