Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB I : Makam Tanpa Nama

Adrian seorang pengelana muda menemukan Makam tanpa nama, cari tahu mesteri apa dibaliknya. Novel kerajaan Eropa fiktif. Awal mula rahasia ditemukan.


Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif

oleh Dyah Ayu Maharani


BAB I — Makam Tanpa Nama

Kabut musim gugur menyelimuti lembah Aramore, di mana istana Eldoria berdiri seperti arca kesepian di atas bukit batu putih. Menara-menara marmernya memantulkan cahaya bulan pucat, sementara lonceng malam berdentang tiga kali — tanda pergantian penjaga di gerbang timur. Di luar tembok istana, di tengah hutan pinus yang sunyi, seorang pemuda berjalan menembus kabut, langkahnya mantap, tapi matanya menyimpan gelisah.

Namanya Adrian.
Seorang pengelana muda yang tak memiliki nama keluarga, tak pula asal yang jelas. Ia dikenal di desa-desa sekitar sebagai penyalin naskah kuno dan pemugar lukisan-lukisan lama. Tetapi malam itu, ia bukan datang untuk bekerja. Ia datang membawa kunci besi tua dan potongan peta rapuh yang diwariskan seorang biarawati sebelum wafat — peta menuju makam kerajaan yang terlupakan.

Hutan itu sunyi. Hanya suara ranting yang patah di bawah langkahnya.
Di kejauhan, burung gagak berputar di langit, seperti menunggu sesuatu.
Ketika Adrian mencapai gerbang batu tua yang ditumbuhi lumut, ia menyalakan lentera kecil. Di bawah cahaya temaram, terpahat tulisan tua berbahasa Eldorien:

"Di sini bersemayam sang cahaya Eldoria, Ratu dari segala kebajikan."

Namun di bawahnya, ukiran nama sang ratu — Elara von Vessen — telah terkikis, seolah waktu sengaja menghapusnya.

Adrian berlutut, membersihkan lumut dengan jari-jari yang gemetar. Ia tidak tahu mengapa nama itu terasa begitu dekat di dadanya. Ia hanya tahu, sejak kecil, setiap kali ia menatap cermin, ia merasa wajahnya milik orang lain.

Ia memegang kunci tua itu. Lubangnya tepat pas di celah batu altar. Dengan suara berderak pelan, batu penutup makam terbuka beberapa jengkal. Aroma lembap bercampur debu tua memenuhi udara. Adrian menunduk, menyorotkan lentera ke dalam lubang gelap itu.

Tidak ada peti.
Tidak ada tulang.
Hanya kain sutra biru pucat yang telah hancur dimakan waktu — dan sebuah medali berbentuk burung phoenix tergeletak di tengah debu.

Adrian menatap medali itu lama.
Burung phoenix — lambang kerajaan Eldoria. Tapi di baliknya terukir sesuatu dengan tangan halus: “Untuk cahaya yang tak pernah padam.”

Ia menelan ludah.
“Permaisuri Elara…” gumamnya lirih.

Nama itu pertama kali ia dengar dari seorang rahib tua di biara tempat ia dibesarkan.
Menurut cerita, Elara adalah ratu tercantik dalam sejarah Eldoria, bijak namun tragis. Ia “meninggal muda karena demam yang tak dikenal”. Namun banyak rumor mengatakan ia dibunuh, meski tak seorang pun tahu bagaimana.
Dan kini, di hadapan Adrian, terbukti satu hal yang tak bisa dibantah: makamnya kosong.


Pagi berikutnya, kabar tentang seseorang yang menerobos makam kerajaan menyebar di antara penjaga istana. Di ruang dalam yang dingin, Lord Mortain, penasihat tertua kerajaan, mendengar laporan itu dengan wajah datar.

“Seorang pemuda tanpa nama,” kata kapten penjaga. “Kami menemukan jejak kaki dan sisa lilin di dekat gerbang makam.”

Mortain menatap keluar jendela.
Matahari memantul di atas menara istana seperti bilah pedang.
“Temukan dia,” katanya tenang. “Dan bawa padaku — hidup-hidup.”


Sementara itu, Adrian bersembunyi di penginapan tua di pinggiran kota. Ia menatap medali itu berulang kali di bawah cahaya lilin. Di dalamnya, ternyata terdapat celah rahasia kecil di sisi bawah. Dengan pisau tipis, ia mengungkitnya perlahan. Terdengar bunyi klik, lalu bagian bawah medali terbuka, menampakkan sepotong kertas kecil yang telah menguning.

Tulisan di atasnya nyaris pudar:

…jika aku tak lagi terlihat, lindungilah anak ini. Darahnya adalah kunci yang akan menebus dosa istana…

Tidak ada nama pengirim, tidak pula penerima. Hanya tanda tangan di ujungnya:
E. V. V.

Adrian menatap huruf-huruf itu lama, seakan huruf-huruf itu berdenyut di dalam dadanya. Ia mencoba mengingat masa kecilnya di biara: suara lembut seorang perempuan yang selalu datang dalam mimpinya, memanggil namanya dengan nada sedih. “Adrian….”

Ia menutup medali itu.
Hatinya berdebar. Ia merasa sedang berdiri di ambang sesuatu — sesuatu yang besar, gelap, dan berbahaya.


Dua hari kemudian, ia mengunjungi Perpustakaan Kerajaan, berpura-pura sebagai penyalin naskah yang mendapat izin dari biara St. Helene. Di ruang bawah perpustakaan, tersimpan arsip lama istana: catatan kelahiran, kematian, dan silsilah bangsawan.
Ia mencari nama “Elara von Vessen”.

Namun pada lembar tahun 1372 — tahun kematian sang permaisuri — catatan itu tidak lengkap.
Tanggal kematian tercantum, tapi tidak ada catatan pemakaman resmi.
Bahkan, nama saksi atau tabib yang menandatangani sertifikat kematian dihapus dengan tinta hitam.

Adrian menatap tinta itu lama.
Seseorang sengaja menghapus sejarah.

Ia terus menggali arsip, dan di antara lembaran tua ia menemukan surat kecil, diselipkan di balik sampul catatan istana.
Tulisan tangan di surat itu halus, tapi tergesa:

"Jangan percaya pada yang duduk di samping takhta. Ratu tak mati — ia disembunyikan. Dan bayi itu… masih hidup".

Adrian merasakan darahnya berhenti mengalir sejenak. Ia membaca ulang kalimat itu, lalu menatap medali di tangannya.

“Bayi itu…?” bisiknya.

Suara langkah berat terdengar di belakangnya.
“Sedang mencari sejarah kerajaan, anak muda?”

Adrian menoleh cepat. Seorang pria tua berjas hitam berdiri di ambang pintu, tongkat kayu di tangannya berukir lambang phoenix. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa.
“Lord Mortain,” kata penjaga di belakangnya.

Adrian menunduk, berusaha menenangkan napas.
“Ya, Tuan. Saya hanya menyalin catatan lama untuk biara.”

Mortain melangkah mendekat, suaranya lembut tapi mengandung ancaman.
“Sejarah kadang lebih berbahaya daripada pedang, anak muda. Banyak hal di masa lalu sebaiknya dibiarkan tidur.”

Ia berhenti tepat di depan Adrian, menatap matanya.
Dan entah kenapa, Adrian merasa pria itu mengenalnya. Tatapan itu seperti seseorang yang menatap wajah yang seharusnya sudah lama hilang.

Mortain tersenyum tipis.
“Kau mirip sekali dengan seseorang yang pernah kukenal. Sangat mirip.”


Malamnya, Adrian meninggalkan perpustakaan dengan perasaan tak tenang. Di luar, hujan turun deras, menyelimuti jalan-jalan batu kota tua. Ia berlari ke arah penginapan, tapi di tikungan sempit, seseorang menariknya ke balik dinding.

“Jangan bicara,” bisik suara perempuan di belakangnya.
Ia menoleh — seorang wanita tua berjubah gelap, wajahnya dipenuhi kerut, namun matanya masih tajam.
“Kau Adrian?”
“Iya. Siapa Anda?”
“Aku Lisbeth… dulu aku pelayan istana. Aku tahu siapa kau sebenarnya.”

Adrian terpaku.
Wanita itu menggenggam tangannya erat, lalu menyelipkan secarik kertas ke telapak tangannya.
“Jika kau ingin tahu kebenaran tentang permaisuri, datanglah ke biara tua di utara sebelum fajar. Jangan percaya siapa pun dari istana. Mereka semua telah berlumur darah.”

Sebelum Adrian sempat bertanya, wanita itu menghilang di balik hujan.

Ia membuka kertas itu — di dalamnya tertulis tiga kata:
“Menara Utara. Burung Phoenix.”


Hujan tak kunjung berhenti malam itu. Di kejauhan, menara istana menjulang di antara kilat, seperti jarum raksasa yang menusuk langit.
Adrian menatapnya dari kejauhan, medali phoenix di tangannya berkilau sesaat disambar petir.

Ia tidak tahu, langkah kecil yang baru saja ia ambil akan menuntunnya ke rahasia paling kelam yang pernah disembunyikan Eldoria — rahasia tentang permaisuri yang tidak pernah mati, namun juga tidak pernah hidup kembali.

Dan di balik semua itu, darahnya sendiri mulai berbisik…
bahwa ia bukan siapa-siapa — atau justru, ia adalah segalanya.