Cara Menulis Dialog Fiksi yang Natural dan Anti-Canggung: Panduan Lengkap Penulis
Cara Menulis Dialog Fiksi yang Natural dan Anti-Canggung: Panduan Lengkap Penulis
Dialog adalah detak jantung dari sebuah cerita fiksi. Jika narasi adalah tulang punggung yang menopang struktur cerita, maka dialog adalah darah yang mengalirkan kehidupan ke dalamnya.
Namun, menulis dialog sering kali menjadi momok bagi penulis, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman. Kita sering menemukan naskah dengan dialog yang terasa kaku, seperti robot yang sedang membaca teks, atau justru terlalu bertele-tele seperti transkrip wawancara yang membosankan. Dialog yang buruk (canggung) dapat seketika merusak imersifitas pembaca, membuat mereka tersadar bahwa mereka sedang membaca karangan bohong, bukan menyaksikan kehidupan nyata.
Lantas, bagaimana cara meracik percakapan antar-tokoh yang mengalir, bertenaga, dan terdengar alami di telinga pembaca? Artikel ini akan mengupas tuntas teknik menulis dialog fiksi yang natural.
Prinsip Dasar: Dialog Fiksi Bukanlah Rekaman Percakapan Nyata
Kesalahpahaman terbesar penulis pemula adalah menganggap dialog fiksi harus sama persis dengan percakapan di dunia nyata. Ini adalah kekeliruan fatal.
Percakapan di dunia nyata penuh dengan "sampah verbal": gumaman (umm, eh, anu), pengulangan kata yang tidak perlu, basa-basi yang membosankan, dan topik yang melompat-lompat tanpa arah. Jika Anda menyalin percakapan nyata ke dalam novel, pembaca akan tertidur.
Rumus Emas: Dialog fiksi adalah percakapan nyata yang telah disunting bagian membosankannya.
Dialog harus memiliki tujuan. Setiap kalimat yang diucapkan tokoh harus melakukan salah satu dari dua hal (atau keduanya sekaligus):
Menggerakkan plot ke depan.
Membangun karakter (memperlihatkan sifat/emosi).
Jika sebuah percakapan tidak memenuhi fungsi tersebut, hapuslah.
1. Hindari "Info-Dumping" dalam Percakapan
Salah satu ciri dialog yang paling canggung dan tidak natural adalah ketika tokoh saling menjelaskan hal-hal yang sebenarnya sudah mereka ketahui, hanya demi memberi informasi kepada pembaca. Dalam dunia penulisan, ini sering disebut sebagai dialog "As you know, Bob..."
Contoh Salah (Info-dumping):
"Dina, seperti yang kamu tahu, kita sudah bersahabat selama sepuluh tahun sejak kita masih di panti asuhan Pelita Harapan, kan? Dan kamu tahu aku tidak suka pedas."
Tidak ada manusia yang berbicara seperti itu kepada sahabatnya.
Contoh Benar (Natural):
Dina menyodorkan piring nasi goreng itu. "Makanlah." Rara menatap piring itu dengan jijik. "Kau masih mau meracuniku dengan cabai setelah sepuluh tahun kita bersama? Serius, Din?"
Pada contoh kedua, informasi tentang durasi persahabatan dan ketidaksukaan Rara terhadap pedas tersampaikan secara tersirat melalui konflik kecil, bukan paparan data.
2. Gunakan Subteks: Seni Berkata Tanpa Bicara
Di dunia nyata, manusia jarang mengatakan apa yang sebenarnya mereka rasakan secara gamblang, terutama saat emosi sedang tinggi. Kita sering menyembunyikan maksud asli di balik kata-kata lain. Inilah yang disebut subteks.
Dialog menjadi kaku ketika karakter terlalu jujur dan harfiah.
Contoh Salah (Tanpa Subteks):
"Aku sangat marah padamu karena kamu selingkuh, Budi. Aku ingin kita putus sekarang juga karena hatiku sakit."
Terlalu melodramatis dan mirip naskah sinetron murah.
Contoh Benar (Dengan Subteks):
Siti mengemasi baju-bajunya ke dalam koper tanpa menoleh sedikit pun. "Kau mau ke mana?" tanya Budi, suaranya bergetar. "Minggir." "Siti, kita bisa bicarakan ini." Siti menutup resleting koper dengan sentakan keras. "Kuncinya kutinggal di meja. Jangan cari aku."
Dalam contoh di atas, Siti tidak perlu mengatakan "aku marah". Tindakannya (mengemas baju, menutup resleting dengan kasar) dan kalimat singkatnya sudah menunjukkan kemarahan yang jauh lebih powerful.
3. Berikan "Suara" yang Khas pada Setiap Karakter
Jika Anda menutup nama tokoh dalam naskah Anda, apakah Anda masih bisa membedakan siapa yang sedang bicara? Jika semua tokoh terdengar sama—menggunakan kosa kata yang sama, gaya bahasa yang sama—maka dialog Anda gagal.
Seorang profesor sejarah berusia 60 tahun tentu memiliki gaya bicara yang berbeda dengan remaja skater berusia 17 tahun.
Tips membedakan suara karakter:
Diksi (Pilihan Kata): Apakah dia suka menggunakan istilah rumit? Atau bahasanya kasar dan jalanan?
Struktur Kalimat: Apakah dia bicara dengan kalimat panjang dan filosofis? Atau kalimat pendek-pendek dan to the point?
Dialek/Logat: Gunakan sedikit sentuhan dialek daerah (jangan berlebihan agar tetap mudah dibaca) untuk memberi identitas.
4. Pangkas Basa-basi Awal dan Akhir
Dalam kehidupan nyata, kita memulai percakapan dengan "Halo", "Apa kabar", "Baik", "Keluarga sehat?", dsb. Dalam fiksi, ini adalah pemborosan tempat.
Masuklah ke dalam adegan selambat mungkin (saat konflik dimulai) dan keluarlah secepat mungkin (setelah poin tersampaikan).
Contoh yang Perlu Dipangkas:
"Halo, Rian." "Halo, Tomi. Apa kabar?" "Baik. Kamu?" "Baik juga. Ada apa menelepon?" "Aku mau menagih utangmu."
Contoh Revisi (Langsung ke Inti):
Telepon berdering. Tomi mengangkatnya. "Mana uangku, Rian?" suara di seberang sana langsung menyambar tanpa permisi.
Versi kedua jauh lebih mendesak, cepat, dan menarik minat pembaca.
5. Gunakan Action Beats sebagai Pengganti Dialogue Tags
Dialogue tag adalah penanda siapa yang bicara (contoh: kata Budi, sahut Ani, tanya Ibu). Terlalu banyak menggunakan tag, apalagi ditambah adverbia (kata keterangan), akan membuat naskah terlihat amatir.
Hindari: "Aku membencimu!" teriak Sari dengan marah sambil melempar vas bunga. (Redundan/berlebihan. "Teriak" dan "melempar vas" sudah menunjukkan dia marah).
Gunakan Action Beats (tindakan fisik) untuk membuat adegan lebih visual dan mengurangi penggunaan kata "kata/ucap/sahut".
Contoh Penggunaan Action Beats:
Sari melempar vas bunga itu ke dinding hingga hancur berkeping-keping. "Aku membencimu! Keluar!"
Pembaca tahu itu Sari yang bicara karena kalimatnya didahului oleh aksi Sari. Ini membuat aliran dialog lebih mulus dan sinematik.
6. Perhatikan Tanda Baca dalam Dialog (PUEBI)
Dialog yang natural juga harus didukung oleh tata tulis yang benar agar pembaca tidak bingung. Kesalahan tanda baca adalah kesalahan teknis yang paling sering dilakukan penulis pemula.
Aturan dasar PUEBI untuk dialog:
Gunakan tanda petik dua ("...").
Tanda baca akhir kalimat (koma, titik, tanda tanya, tanda seru) diletakkan di dalam tanda petik.
Jika diikuti dialogue tag (kata, ujar, sahut, tanya), gunakan tanda koma di akhir dialog (kecuali tanda tanya/seru) dan awali tag dengan huruf kecil.
Salah:
"Aku mau pulang." Kata Andi. (Setelah petik harus huruf kecil jika itu tag). "Aku mau pulang", kata Andi. (Koma harus di dalam petik).
Benar:
"Aku mau pulang," kata Andi. "Kamu mau pulang?" tanya Andi. "Cepat pulang!" seru Andi.
Jika diikuti action beat (bukan kata kerja wicara), gunakan tanda titik dan awali kalimat baru dengan huruf besar.
Benar:
"Aku mau pulang." Andi mengambil tasnya dan berjalan ke pintu.
7. Lakukan Tes Baca Nyaring (Read Aloud)
Ini adalah ujian terakhir dan terpenting. Setelah menulis satu adegan percakapan, bacalah dialog tersebut dengan suara keras (benar-benar bersuara, bukan dalam hati).
Jika lidah Anda terselip, kehabisan napas, atau merasa kalimatnya aneh saat diucapkan, berarti dialog tersebut belum natural. Jika Anda merasa konyol saat mengucapkannya, kemungkinan besar pembaca juga akan merasa aneh ("cringe") saat membacanya.
Koreksi kalimat yang terlalu baku jika konteksnya santai. Ubah "Apakah engkau hendak pergi ke pasar?" menjadi "Kamu mau ke pasar?" atau "Mau ke pasar, ya?" jika itu adalah percakapan santai antar-tetangga.
Kesimpulan
Menulis dialog yang natural adalah tentang keseimbangan. Anda harus meniru irama bicara manusia asli, tetapi membuang bagian-bagian yang tidak penting. Anda harus memberikan informasi, tetapi menyembunyikannya di balik konflik dan emosi.
Ingatlah, dialog terbaik adalah dialog yang tidak terasa "ditulis". Dialog tersebut harus terdengar seolah-olah pembaca sedang menguping pembicaraan nyata dua orang yang sedang berkonflik.
Latihlah kepekaan telinga Anda. Dengarkan orang-orang berbicara di kafe, di angkutan umum, atau di pasar. Perhatikan bagaimana mereka memotong pembicaraan, menggunakan kata-kata slang, dan menyembunyikan perasaan mereka. Ambil esensinya, dan tuangkan ke dalam naskah Anda.
Gabung dalam percakapan