Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB X : API DI MAHKOTA

Api Phoenix telah terbangun, ia menuntut kebenaran. Bagaimana cara meredakannya, Akankah api itu bisa padam. Temukan jawabannya di Novel fiksi misteri

ADRIAN

Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif

oleh Dyah Ayu Maharani


Bab Sebelumnya


BAB X – API DI MAHKOTA

Fajar menembus jendela besar istana Eldoria, menyiramkan cahaya keemasan ke ruang singgasana yang dulu tampak megah, kini seperti panggung yang menunggu lakon tragisnya.
Pilar-pilar marmer memantulkan sinar lembut, tapi di balik keindahan itu, Adrian merasakan sesuatu yang dingin — seperti racun yang bersembunyi di dalam madu.

Sudah tiga hari sejak ia menemukan Kamar Cermin Pertama di bawah tanah.
Sejak malam itu, tidurnya dipenuhi bisikan dan bayangan Elara yang memanggilnya dari balik cahaya merah. Kadang suara itu lembut, kadang tajam seperti perintah.

“Kebenaranmu bukan untuk disimpan, Adrian,” bisikan itu selalu datang.
“Kebenaran yang tidak dibagikan adalah api yang membusuk dalam gelap.”

Adrian tahu, waktunya telah tiba.
Kebenaran tentang kematian ibunya — dan tentang darah Phoenix yang mengalir di dalam dirinya — tidak bisa lagi dikubur.


Pesta Mahkota

Hari itu, istana bersiap untuk perayaan besar: ulang tahun ke-30 Raja Magnus, ayah tirinya, sekaligus peringatan dua dekade kekuasaan keluarga kerajaan.
Rakyat berdatangan dari seluruh penjuru negeri, memenuhi halaman istana dengan bendera merah dan emas.
Musik harpa terdengar, anggur mengalir, dan segala sesuatu tampak sempurna di permukaan.

Namun Adrian tahu, kesempurnaan itu hanyalah tirai penutup kebohongan.

Ia berdiri di balkon atas, memandangi pesta dari kejauhan. Di bawah, Raja Magnus tersenyum lebar, berdiri di atas panggung bersama Ratu Seraphine — wanita yang dikenal lembut, namun matanya menyimpan rahasia yang tak pernah terucap.

Adrian memperhatikan keduanya lama.
Darahnya berdesir, bukan karena amarah, tapi karena kebenaran yang kini berdenyut dalam dirinya seperti api hidup.

“Ayah tiriku,” gumamnya pelan, “kau berdiri di atas makam ibuku.”


Rahasia di Balik Tahta

Menjelang senja, Adrian dipanggil ke ruang raja — ruangan yang berdinding batu hitam dan dihiasi lukisan para pendiri kerajaan.
Di tengah ruangan, terdapat mahkota emas besar di atas bantal beludru merah.

Raja Magnus duduk di kursinya, menatap Adrian dengan sorot mata tajam namun penuh kepura-puraan.

“Adrian,” katanya, “aku mendengar kau sering pergi ke bagian bawah istana akhir-akhir ini. Tempat itu terlarang. Tidak ada yang boleh ke sana tanpa izin.”

Adrian menunduk sedikit, namun nada suaranya tenang. “Aku hanya mencari jawaban, Yang Mulia.”

“Jawaban?” Raja mengangkat alis. “Tentang apa?”

Adrian menatap langsung ke matanya. “Tentang Ibu.”

Ruangan seketika senyap.
Angin yang berhembus dari jendela terdengar seperti desahan panjang roh yang mengintai.

Raja tersenyum tipis. “Permaisuri Elara sudah tiada dua puluh tahun lalu. Mengapa mengorek masa lalu yang telah mati?”

Adrian melangkah maju. “Karena masa lalu itu belum mati. Ia hidup di dalam darahku.”

Raja terdiam. Sekilas, matanya tampak gelisah — namun cepat-cepat ia sembunyikan di balik senyum.
“Ah… darah Phoenix, begitu?” katanya pelan, hampir berbisik. “Kau memang anaknya.”

Adrian menatapnya tajam. “Kau tahu.”

Raja Magnus berdiri. Suaranya berubah dingin.
“Aku tahu banyak hal, Adrian. Termasuk bahwa ibumu bukanlah malaikat seperti yang kau kira. Ia berkhianat pada mahkota. Ia mencoba menumbangkan tatanan yang telah dibangun berabad-abad.”

Adrian menahan napas. “Kau memanggilnya pengkhianat, padahal kaulah pembunuhnya.”

Kata itu seperti petir yang menghantam jantung istana.
Raja tak segera menjawab. Ia menatap Adrian lama, lalu tertawa kecil.

“Pembunuh? Oh, anak muda. Jika aku membunuhnya, kau pikir kenapa aku membiarkanmu hidup?”

Adrian menggenggam gagang pedangnya, tapi suaranya tetap tenang.
“Karena kau takut pada darah ini. Karena kau tahu, jika darah Phoenix terbunuh, makhluk yang bersemayam di bawah tanah akan bangkit.”

Senyum raja memudar.
“Jadi kau sudah tahu sejauh itu…”


Ratu Seraphine

Pintu besar di belakang tiba-tiba terbuka.
Ratu Seraphine masuk, gaunnya berkilau seperti perak dalam cahaya lilin. Ia memegang cermin kecil di tangan, dan ketika Adrian melihatnya, jantungnya berdegup keras — itu cermin yang sama dengan milik ibunya, tapi utuh tanpa retakan.

“Ratu,” kata Raja Magnus, “kau datang tepat waktu. Anak ini ingin menuduh ayah tirinya membunuh ibunya sendiri.”

Seraphine menatap Adrian, lalu menunduk sedikit. “Kau tak salah, Pangeran. Tapi kau juga tak sepenuhnya benar.”

Adrian mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Seraphine menatap cermin di tangannya. Permukaannya bergetar lembut, dan pantulan di dalamnya berubah — menampilkan bayangan Elara muda sedang memeluk bayi.
Namun di belakang Elara, berdiri sosok lain… Seraphine sendiri, mengenakan jubah abu-abu dan memegang pisau kecil.

Adrian terhuyung. “Jadi… kau…?”

Ratu mengangguk perlahan, wajahnya datar. “Aku tidak membunuhnya, Adrian. Aku menolongnya. Ibumu terluka parah malam itu, dan dia memohon agar aku menyembunyikan anak yang baru dilahirkannya — kau. Aku membawa bayi itu keluar dari istana, lalu kuberi nama keluarga tirimu agar kau tidak dibunuh oleh raja.”

Adrian membeku. Segala kebencian yang selama ini ia pelihara runtuh dalam sekejap.

Raja Magnus membanting tangan ke meja. “Cukup! Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, Seraphine? Kau dan Elara sama saja — wanita yang bermain dengan kebenaran dan api!”

Seraphine menatapnya dengan tatapan dingin. “Kebenaran bukan permainan, Yang Mulia. Ia hanya menunggu waktu untuk membakar kebohonganmu.”


Api di Mahkota

Suara keras terdengar di luar.
Pintu ruang singgasana terbuka paksa, dan para penjaga berlari masuk.

“Tuan! Sayap timur istana terbakar!”

Raja berbalik cepat, wajahnya tegang. “Apa?”

Adrian berjalan perlahan ke arah mahkota di meja, tangannya menyentuh logam emas yang kini terasa hangat. “Api itu bukan api biasa,” katanya pelan. “Itu darah Phoenix. Ia telah bangun, dan ia menuntut kebenaran.”

Raja menatapnya ngeri. “Kau memanggilnya?!”

“TIDAK,” jawab Adrian, matanya menyala merah samar. “AKU adalah panggilannya.”

Tiba-tiba seluruh ruangan bergetar. Mahkota di tangannya bersinar terang, dan api merah menyala dari permata di puncaknya. Nyala itu merambat ke langit-langit, menciptakan lingkaran cahaya besar dengan simbol phoenix membentang di udara.

Semua orang mundur ketakutan.
Ratu Seraphine menutupi wajahnya, sementara Raja Magnus berdiri terpaku.

Adrian menatap api di mahkota itu. “Inilah api kebenaran. Ia membakar bukan untuk menghukum, tapi untuk menyingkap.”

Api itu merambat ke dinding, dan dari setiap bayangan muncul bentuk-bentuk samar: wajah-wajah bangsawan, pejabat, dan prajurit — semua menunduk malu ketika cahaya menyorot dosa mereka.
Kebohongan yang disembunyikan selama bertahun-tahun kini terbuka seperti luka lama yang disobek paksa.

Raja Magnus berteriak. “Kau akan menghancurkan kerajaan ini!”

Adrian menatapnya tajam. “Kerajaan ini sudah hancur sejak kau membunuh kebenaran.”

Ia mengangkat mahkota yang kini terbakar api merah terang, lalu menempatkannya di kepalanya sendiri. Api itu menyelimuti tubuhnya, tapi tidak membakar — justru menyatu dengan darahnya.

Seraphine berbisik lirih, “Phoenix… telah lahir kembali.”


Sang Pewaris Kebenaran

Ketika api mereda, Adrian berdiri di tengah ruangan. Mahkota emas kini tampak berubah — bukan lagi simbol kekuasaan, melainkan simbol penebusan.
Raja Magnus jatuh berlutut, wajahnya pucat, sementara Seraphine menunduk dengan air mata di pipi.

Adrian berkata pelan, namun suaranya bergema ke seluruh istana:

"Eldoria tidak akan diperintah oleh kebohongan lagi.
Mahkota ini bukan milik darah bangsawan, tapi milik mereka yang berani menatap cermin tanpa takut pada apa yang terlihat di dalamnya."

Dari luar, api yang membakar istana tiba-tiba padam sendiri. Langit berubah merah keemasan, dan di atas menara tertinggi, bayangan burung phoenix membentang lebar, mengepakkan sayap api lalu menghilang ke langit fajar.

Seraphine menatap Adrian dengan lembut. “Sekarang aku tahu mengapa ibumu memilih menyelamatkanmu, Adrian. Karena hanya kebenaran yang lahir dari penderitaan yang bisa menyalakan kembali dunia.”

Adrian menatap langit. “Dan sekarang, kebenaran itu harus dijaga… bahkan jika dunia menolaknya.”