Cermin Darah Phoenix: Warisan Eldoria — BAB X : API DI MAHKOTA
![]() |
| ADRIAN |
Sebuah Novel Misteri Kerajaan Eropa Fiktif
oleh Dyah Ayu Maharani
BAB X – API DI MAHKOTA
“Kebenaranmu bukan untuk disimpan, Adrian,” bisikan itu selalu datang.“Kebenaran yang tidak dibagikan adalah api yang membusuk dalam gelap.”
Pesta Mahkota
Namun Adrian tahu, kesempurnaan itu hanyalah tirai penutup kebohongan.
Ia berdiri di balkon atas, memandangi pesta dari kejauhan. Di bawah, Raja Magnus tersenyum lebar, berdiri di atas panggung bersama Ratu Seraphine — wanita yang dikenal lembut, namun matanya menyimpan rahasia yang tak pernah terucap.
“Ayah tiriku,” gumamnya pelan, “kau berdiri di atas makam ibuku.”
Rahasia di Balik Tahta
Raja Magnus duduk di kursinya, menatap Adrian dengan sorot mata tajam namun penuh kepura-puraan.
“Adrian,” katanya, “aku mendengar kau sering pergi ke bagian bawah istana akhir-akhir ini. Tempat itu terlarang. Tidak ada yang boleh ke sana tanpa izin.”
Adrian menunduk sedikit, namun nada suaranya tenang. “Aku hanya mencari jawaban, Yang Mulia.”
“Jawaban?” Raja mengangkat alis. “Tentang apa?”
Adrian menatap langsung ke matanya. “Tentang Ibu.”
Raja tersenyum tipis. “Permaisuri Elara sudah tiada dua puluh tahun lalu. Mengapa mengorek masa lalu yang telah mati?”
Adrian melangkah maju. “Karena masa lalu itu belum mati. Ia hidup di dalam darahku.”
Adrian menatapnya tajam. “Kau tahu.”
Adrian menahan napas. “Kau memanggilnya pengkhianat, padahal kaulah pembunuhnya.”
“Pembunuh? Oh, anak muda. Jika aku membunuhnya, kau pikir kenapa aku membiarkanmu hidup?”
Ratu Seraphine
“Ratu,” kata Raja Magnus, “kau datang tepat waktu. Anak ini ingin menuduh ayah tirinya membunuh ibunya sendiri.”
Seraphine menatap Adrian, lalu menunduk sedikit. “Kau tak salah, Pangeran. Tapi kau juga tak sepenuhnya benar.”
Adrian mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Adrian terhuyung. “Jadi… kau…?”
Ratu mengangguk perlahan, wajahnya datar. “Aku tidak membunuhnya, Adrian. Aku menolongnya. Ibumu terluka parah malam itu, dan dia memohon agar aku menyembunyikan anak yang baru dilahirkannya — kau. Aku membawa bayi itu keluar dari istana, lalu kuberi nama keluarga tirimu agar kau tidak dibunuh oleh raja.”
Adrian membeku. Segala kebencian yang selama ini ia pelihara runtuh dalam sekejap.
Raja Magnus membanting tangan ke meja. “Cukup! Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, Seraphine? Kau dan Elara sama saja — wanita yang bermain dengan kebenaran dan api!”
Seraphine menatapnya dengan tatapan dingin. “Kebenaran bukan permainan, Yang Mulia. Ia hanya menunggu waktu untuk membakar kebohonganmu.”
Api di Mahkota
“Tuan! Sayap timur istana terbakar!”
Raja berbalik cepat, wajahnya tegang. “Apa?”
Adrian berjalan perlahan ke arah mahkota di meja, tangannya menyentuh logam emas yang kini terasa hangat. “Api itu bukan api biasa,” katanya pelan. “Itu darah Phoenix. Ia telah bangun, dan ia menuntut kebenaran.”
Raja menatapnya ngeri. “Kau memanggilnya?!”
“TIDAK,” jawab Adrian, matanya menyala merah samar. “AKU adalah panggilannya.”
Tiba-tiba seluruh ruangan bergetar. Mahkota di tangannya bersinar terang, dan api merah menyala dari permata di puncaknya. Nyala itu merambat ke langit-langit, menciptakan lingkaran cahaya besar dengan simbol phoenix membentang di udara.
Adrian menatap api di mahkota itu. “Inilah api kebenaran. Ia membakar bukan untuk menghukum, tapi untuk menyingkap.”
Raja Magnus berteriak. “Kau akan menghancurkan kerajaan ini!”
Adrian menatapnya tajam. “Kerajaan ini sudah hancur sejak kau membunuh kebenaran.”
Ia mengangkat mahkota yang kini terbakar api merah terang, lalu menempatkannya di kepalanya sendiri. Api itu menyelimuti tubuhnya, tapi tidak membakar — justru menyatu dengan darahnya.
Seraphine berbisik lirih, “Phoenix… telah lahir kembali.”
Sang Pewaris Kebenaran
Adrian berkata pelan, namun suaranya bergema ke seluruh istana:
"Eldoria tidak akan diperintah oleh kebohongan lagi.Mahkota ini bukan milik darah bangsawan, tapi milik mereka yang berani menatap cermin tanpa takut pada apa yang terlihat di dalamnya."
Dari luar, api yang membakar istana tiba-tiba padam sendiri. Langit berubah merah keemasan, dan di atas menara tertinggi, bayangan burung phoenix membentang lebar, mengepakkan sayap api lalu menghilang ke langit fajar.
Seraphine menatap Adrian dengan lembut. “Sekarang aku tahu mengapa ibumu memilih menyelamatkanmu, Adrian. Karena hanya kebenaran yang lahir dari penderitaan yang bisa menyalakan kembali dunia.”
Adrian menatap langit. “Dan sekarang, kebenaran itu harus dijaga… bahkan jika dunia menolaknya.”

Gabung dalam percakapan